Kamis, 16 April 2015

Resume hukum transportasi

Resume Buku ajar Hukum Pengangkutan

BAB I
PENDAHULUAN
Ruang Lingkup Pengangkutan Pada Umumnya
Istilah ”Pengangkutan” berasal dari kata ”angkut” yang berarti ”mengangkut dan membawa”, sedangkan istilah ”pengangkutan” dapat diartikan sebagai ”pembawaan barang-barang atau orang-orang (penumpang)”.  Pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan. Perjanjian pengangkutan dapat juga dibuat tertulis yang disebut carter (charterparty). Jadi perjanjian pengangkutan pada umumnya diadakan secara lisan, yang didukung oleh dokumen yang membuktikan bahwa perjanjian itu sudah terjadi. Jadi pengangkutan itu berupa suatu wujud kegiatan dengan maksud memindahkan barang-barang atau penumpang (orang) dari tempat asal ke suatu tempat tujuan tertentu”.

Pengangkutan sebagai usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Berdasarkan suatu perjanjian;
2)      Kegiatan ekonomi di bidang jasa;
3)      Berbentuk perusahaan;
4)      Menggunakan alat angkut mekanik.

Pengangkutan sebagai suatu proses mengandung makna sebagai serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian dibawa menuju tempat yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan31. Sedangkan pendapat lain menyatakan pengangkutan niaga adalah rangkaian kegiatan atau peristiwa pemindahan penumpang dan/atau barang dari suatu tempat pemuatan ke tempat tujuan sebagai tempat penurunan penumpang atau pembongkaran barang.

Rangkaian kegiatan pemindahan tersebut meliputi :
a)      Dalam arti luas, terdiri dari:
1        memuat penumpang dan/atau barang ke dalam alat pengangkut
2        membawa penumpang dan/atau barang ke tempat tujuan
3        menurunkan penumpang atau membongkar barang-barang di tempat tujuan.
b) Dalam arti sempit, meliputi kegiatan membawa penumpang dan/atau barang dari stasiun/terminal/pelabuhan/bandar udara tempat tujuan.
Secara yuridis defenisi atau pengertian pengangkutan pada umumnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Walaupun demikian, pengangkutan itu menurut hukum atau secara yuridis dapat didefenisikan sebagai suatu perjanjian timbal balik antara pihak pengangkut dengan pihak yang diangkut atau pemilik barang atau pengirim,dengan memungut biaya pengangkutan.

Klasifikasi Transportasi atau Angkutan
Transportasi atau pengangkutan dapat dikelompokan menurut macam atau moda atau jenisnya (modes of transportation) yang dapat ditinjau dari segi barang yang diangkut, dari segi geografis transportasi itu berlangsung, dari sudut teknis serta dari sudut alat angkutannya. Secara rinci klasifakasi transportasi sebagai berikut :
1)      Dari segi barang yang diangkut, transportasi meliputi:
a)      angkutan penumpang (passanger);
b)      angkutan barang (goods);
c)      angkutan pos (mail).
2)      Dari sudut geografis. Ditinjau dari sudut geografis, transportasi dapat dibagi menjadi;
a)      Angkutan antar benua: misalnya dari Asia ke Eropah;
b)      Angkutan antar kontinental: misalnya dari Francis ke Swiss dan diseterusnya sampai ke Timur Tengah;
c)      Angkutan antar pulau: misalnya dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera;
d)     Angkutan antar kota: misalnya dari Jakarta ke Bandung;
e)      Angkutan antar daerah: misalnya dari Jawa Barat ke Jawa Timur;
f)       Angkutan di dalam kota: misalnya kota Medan, Surabaya dan lain-lain.
3)      Dari sudut teknis dan alat pengangkutnya, Jika dilihat dari sudut teknis dan alatangkutnya, maka transportasi dapat dibedakan sebagai berikut:
a)       Angkutan jalan raya atau highway transportation(road transportation),seperti pengangkutan dengan menggunakan truk,bus dan sedan;
b)       Pengangkutan rel (rail transportation), yaitu angkutan kereta api, trem listrik dan sebagainya. Pengangkutan jalan raya dan pengangkutan rel kadang-kadang keduanyadigabung dalam golongan yang disebut rail and road transportation atau landtransportation (angkutan darat);
c)       Pengangkutan melalui air di pedalaman (inland transportation), seperti pengangkutan sungai, kanal, danau dan sebagainya;
d) Pengangkutan pipa (pipe line transportation), seperti transportasi untuk mengangkutatau mengalirkan minyak tanah, bensin dan air minum;
e) Pengangkutan laut atau samudera (ocean transportation), yaitu angkutan denganmenggunakan kapal laut yang mengarungi samudera;
f)  Pengangkutan udara (transportation by air atau air transportation), yaitupengangkutan dengan menggunakan kapal terbang yang melalui jalan udara.

Fungsi dan Kegunaan Pengangkutan atau transportasi
Dalam ilmu ekonomi dikenal beberapa bentuk nilai dan kegunaan suatu benda, yaitunilai atau kegunaan benda berdasarkan tempat (place utility)dan nilai atau kegunaan karena waktu (time utility). Kedua nilai tersebut secara ekonomis akan diperoleh jika barang-barangatau benda tersebut diangkut ketempat dimana nilainya lebih tinggi dan dapatdimanfaatkan tepat pada waktunya. Dengan demikian pengangkutan memberikan jasalepada masyarakat yang disebut” jasa pengangkutan”.
Selanjutnya dinyatakan bahwa peran penting dari transportasi dikaitkan dengan aspekekonomi dan sosial-ekonomi bagi masyarakat dan negara, yaitu sebagi berikut:
1.      Berperan dalam hal ketersediaan barang (availability of goods);
2.      Stabilisasi dan penyamaan harga (stabilization and equalization);
3.      Penurunan harga ( price reduction);
4.      Meningkatkan nilai tanah (land value);
5.      Terjadinya spesialisasi antar wilayah(territorial division of labour);
6. Berkembangnya usaha skala besar(large scale production);
7.      Terjadinya urbanisasi dan konsentrasi penduduk(urbanization and population concentration) dalam kehidupan.

Asas-Asas Hukum Pengangkutan
Di dalam hukum pengangkutan juga terdapat asas-asas hukum, yang terbagi ke dalam dua jenis, yaitu bersifat publik dan bersifat perdata, asas yang bersifat publik merupakan landasan hukum pengangkutan yang berlaku dan berguna bagi semua pihak, yaitu pihak-pihakdalam pengangkutan, pihak ketiga yang berkepentingan dengan pengangkutan, dan pihak pemerintah.
1.      
      Asas-asas Hukum Pengangkutan Bersifat Publik
Ada beberapa asas hukum pengangkutan yang bersifat publik, yaitu sebagai berikut:
a. Asas manfaat yaitu, bahwa penerbangan harus dapat memberikan manfaat sebesar-besarnyabagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembanganperikehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara, serta upaya peningkatanpertahanan dan keamanan negara;
b.  Asas usaha bersama dan kekeluargaan yaitu, bahwa penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai olehsemangat kekeluargaan;
c.  Asas adil dan merata yaitu, bahwa penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
d.  Asas keseimbangan yaitu, bahwa penerbangan harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antarakepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat,serta antara kepentingan nasional dan internasional;
e. Asas kepentingan umum yaitu, bahwa penyelenggaraan penerbangan harus mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas;
f.  Asas keterpaduan yaitu, bahwa penerbangan harus merupakan kesatuan yang bulat danutuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antar modal transportasi;
g. Asas kesadaran hukum yaitu, bahwa mewajibkan kepada pemerintah untuk menegakkandan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan penerbangan;
h. Asas percaya pada diri sendiri yaitu, bahwa penerbangan harus berlandaskan padakepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta bersendikan kepadakepribadian bangsa.
i. Asas keselamatan Penumpang, yaitu bahwa setiap penyelenggaraan pengangkutanpenumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan.

2. Asas Hukum Pengangkutan Bersifat Perdata
Dalam kegiatan pengangkutan terdapat hubungan hukum antara pihak pengangkut dan penumpang, hubungan hukum tersebut harus di dasarkan pada asas-asas hukum . Asas-asashukum pengangkutan bersifat perdata terdiri dari :
a.  Asas konsensual yaitu, perjanjian pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuktertulis, sudah cukup dengan kesepakatan pihak-pihak. Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa perjanjian itu sudah terjadi atau sudaha ada harus dibuktikan dengan atau didukungdengan dokumen pengangkutan;
b.  Asas Koordinatif yaitu, pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai kedudukan yang setara atau sejajar, tidak ada pihak yang mengatasi atau membawahi yang lain. Meskipunpengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah penumpang atau pengirim barang, pengangkut bukan bawahan penumpang atau pengirim barang. Pengangkut merupakan salah satu bentuk pemberian kuasa.
c. Asas campuran yaitu, pengangkutan merupakan campuran dari 3 (tiga) jenis perjanjianyakni, pemberian kuasa, peyimpanan barang dan melakukan pekerjaan dari pengirimkepada pengangkut. Ketentuan ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengangkutan,kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan.
d.  Asas pembuktian dengan dokumen yaitu, setiap pengangkutan selalu dibuktikan dengan dokumen angkutan, tidak ada dokumen pengangkutan berarti tidak ada perjanjianpengangkutan, kecuali jika kebiasaan yang sudah berlaku umum, misalnya pengangkutanuntuk jarak dekat biasanya tidak ada dokumen atau tiket penumpang, contohnya angkutan dalam kota.

Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan
Dalam hukum pengangkut terdapat tiga prinsip atau ajaran dalam menentukan tanggung jawab pengangkut, yaitu sebagai berikut :
1.  Prinsip tanggungjawab atas dasar kesalahan (the based on fault atau liability based onfault principle);
2. Prinsip tanggungjawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liabilityprinciple);
3. Prinsip tanggungjawab mutlak (no fault, atau strict liability, absolute liabilityprinciple).

Sumber Hukum Pengangkutan
Secara umum sumber hukum diartikan sebagai tempat dapat menemukan hukum atautempat mengenali hukum. Sumber hukum dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum material(amaterial sources of law) dan sumber hukum dalam arti formal (a formal sources of law).
Sumber hukum materil adalah sumber dari mana diperoleh bahan hukum dan bukankekuatan berlakunya, dalam hal ini keputusan resmi dari hakim/pengadilan yang memberikan kekuatan berlakunya, sedangkan sumber hukum formal adalah sumber dari sumber mana suatu peraturan hukum memperoleh kekuatan dan sah berlakunya. Sumber hukum formal adalah kehendak negara sebagai mana dijelaskan dalam undang-undang atau putusan-putusan pengadilan. Sumber hukum yang telah dirumuskan peraturannya dalam suatu bentuk, berdasarkan apa ia berlaku, ia ditaati orang dan mengikat hakim, serta pejabat hukum. Itulah sumber-sumber hukum dalam arti formal, atau dapat juga disebut sumber-sumber berlakunya hukum karena ia adalah sebagai causa efficiens.

Beberapa sumber hukum angkutan udara yang bersifat ineternasional,(Konvensi-konvensi internasional dalam bidang angkutan udara) yaitu sebagai berikut:
a)      Konvensi Warsawa (Warsaw Convention) 1929.
Konvensi ini antara lain mengatur hal pokok, yaitu pertama mengatur masalah dokumen angkutan udara (chapter II article 3-16) dan yang kedua mengatur masalah tanggungjawab pengangkut udara.
b)      Konvensi Geneva.
Konvensi Geneva ini mengatur tentang “International Recognition of Right inAircraft”. Dalam Konvensi Geneva Indonesia tidak turut serta. Namun demikian dari segi ilmu hukum konvensi ini penting sekali adanya, karena baik “mortage” (dalam hukum Anglosaxon) maupun “hipotik” (dalam hukum Kontinental) atas pesawat udara dan peralatannya dapatdiakui secara internasional oleh negara-negara pesertanya.
c)      Konvensi Roma 1952
Nama lengkap dari Konvensi ini adalah “Convention on Damage Caused by ForeignAircraft to Third Parties on the Surface”, ditandatangani di Roma pada tanggal 7 Oktober 1952 dan merupakan pengganti dari konvensi Roma sebelumnya (tahun 1933). Konvensi Roma tahun 1952 ini mengatur masalah tanggungjawab operator pesawat terbang asing terhadap pihak ketiga di darat yang menderita kerugian yang ditimbulkan oleh operatorpesawat terbang asing tersebut. Peserta Konvensi Roma tahun 1952 tersebut pesertanya tidak begitu banyak, dan Indonesia pun tidak ikut serta di dalamnya.
d)     Protokol Hague 1955
Protocol Hague 1955 yang ditandatangani pada tanggal 28 September 1955, berisi beberapa amandemen terhadap Konvensi Warsawa 1929 seperti masalah kenaikan limit ganti rugi untuk penumpang, penyederhanaan dan penyempurnaan tiket penumpang dan surat muatan udara.
e)      Konvensi Guadalajara 1961
Pada pokoknya Konvensi Guadalajara memperlakukan ketentuan Konvensi Warsawaterhadap angkutan udara yang dilakukan oleh pengangkut yang bukan merupakan pengangkut yang mengadakan perjanjian pengangkutan udara. Sehingga dengan demikian system tanggungjawab yang dianut sama dengan Konvensi Warsawa.
f)       Protokol Guatemala
Protokol Guatemala yang ditandatangani pada tanggal 8 Maret 1971 memuat perubahan-perubahan penting atas beberapa ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan Protocol Hague, terutama dalam hal prinsip tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasi.

BAB II
PENGANGKUTAN DALAM PERANAANNYA DI BIDANG EKONOMI

Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Pengangkutan
Yang dimaksud dengan pihak-pihak dalam pengangkutan adalah para subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum pengangkutan.
a. Pengangkut (Carrier)
Dalam perjanjian pengangkutan penumpang, pihak pengangkut yakni pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan penumpang dan berhak atas penerimaan pembayaran tarif (ongkos) angkutan sesuai yang telah ditetapkan.
 b. Pengirim ( Consigner, Shipper)
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia tidak mengatur definisi pengirim secara umum. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar pengangkutan barang dan atas dasar itu dia berhak memperoleh pelayanan pengangkutan barang dari pengangkut.
c. Penumpang (Passanger)
Penumpang adalah pihak yang berhak mendapatkan pelayanan jasa angkutan penumpang dan berkewajiban untuk membayar tarif (ongkos) angkutan sesuai yang ditetapkan.
 d. Penerima (Consignee)
Dalam perjanjian pengangkutan, penerima mungkin pengirim sendiri, mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal penerima adalah pengirim, maka penerima adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan. Dalam penerima adalah pihak ketiga yang berkepentingan, penerima bukan pihak dalam perjanjian pengangkutan, melainkan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan atas barang kiriman, tetapi tergolong juga sebagai subjek hukum pengangkutan. Adapun kriteria penerima menrut perjanjian, yaitu :
1.      perusahaan atau perorangan yang memperoleh hak dari pengirim barang;
2.      dibuktikan dengan penguasaan dokumen pengangkutan;
3.      membayar atau tanpa membayar biaya pengangkutan.
e. Ekspeditur
Ekspeditur digolongkan sebagai subjek hukum pengangkutan karena mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengirim atau pengangkut atau penerima barang. Ekspeditur berfungsi sebagai perantara dalam perjanjian pengangkutan yang bertindak atas nama pengirim. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui kriteria ekspeditur menurut ketentuan undang-undang, yaitu:
1.      perusahaan pengantara pencari pengangkut barang;
2.      bertindak untuk dan atas nama pengirim; dan
3.      menerima provisi dari pengirim.
f. Agen Perjalanan ( Travel Agent)
Agen perjalanan (travel agent) dikenal dalam perjanjian pengangkutan penumpang. Agen perjalanan digolongkan sebagai subjek hukum pengangkutan karena mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengangkut, yaitu perusahaan pengangkutan penumpang. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditentukan kriteria agen perjalanan menurut undang-undang, yaitu :
1.      pihak dalam perjanjian keagenan perjalanan;
2.      bertindak untuk dan atas nama pengangkut;
3.      menerima provisi (imbalan jasa) dari pengangkut; dan
4.      menjamin penumpang tiba di tempat tujuan dengan selamat.
 g. Pengusaha Muat Bongkar (Stevedoring)
Menurut Pasal 1 butir 16 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 pengusaha muat bongkar adalah ”kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang bongkar muat barang dan/atau hewan dari dan ke kapal”. Perusahaan ini memiliki tenaga ahli yang pandai menempatkan barang di dalam ruang kapal yang terbatas itu sesuai dengan sifat barang, ventilasi yang diperlukan, dan tidak mudah bergerak/bergeser. Demikian juga ketika membongkar barang dari kapal diperlukan keahlian sehingga barang yang dapat dibongkar dengan mudah, efisien, dan tidak menimbulkan kerusakan.
Menurut Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 untuk memperoleh izin usaha bongkar muat, wajib memenuhi persyaratan :
1.      memiliki modal dan peralatan yang cukup sesuai dengan perkembangan teknologi;
2.      memiliki tenaga ahli yang sesuai;
3.      memiliki akte pendirian perusahaan;
4.      memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan
5.      memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
h. Pengusaha Pergudangan (Warehousing)
Menurut Pasal 1 alinea kedua Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1969, pengusaha pergudangan adalah ”perusahaan yang bergerak di bidang jenis jasa penyimpanan barang di dalam gudang pelabuhan selama barang yang bersangkutan menunggu pemuatan ke dalam kapal atau penunggu pemuatan ke dalam kapal atau menunggu pengeluarannya dari gudang pelabuhan yang berada di bawah pengawasan Dinas Bea dan Cukai”.

Objek Hukum Pengangkutan
adalah segala sasaran yang digunakan untuk mencapai tujuan. Sasaran tersebut pada pokoknya meliputi barang muatan, alat pengangkut, dan biaya angkutan. Jadi objek hukum pegangkutan adalah barang muatan, alat pengangkut, dan biaya yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum pengangkutan niaga, yaitu terpenuhinya kewajiban dan hak pihak-pihak secara benar, adil, dan bermanfaat.

Pengangkutan dan Peranannya dalam Perekonomian
Pada waktu yang telah diselenggarakan oleh pemerintah kita melalui badan usaha mlik negara adalah pengangkutan kereta api, pengangkutan udara, pelayaran antar pulau di samping bidang-bidang komunikasi lainnya. Ada banyak pula usaha di bidang transportasi ini yang dimiliki, diselenggarakan, dan diusahakan oleh pihak swasta. Seperti diketahui, tujuan ekonomi adalah memenuhi kebutuhan manusia dengan menciptakan manfaat. Pengangkutan adalah satu jenis kegiatan yang menyangkut peningkatan kebutuhan manusia dengan mengubah letak geografi orang maupun barang. Ada tiga faktor ekonomis alasan kenapa pemerintah memiliki dan mengusahakan sendiri upaya transpor ini, yaitu :
1.  kurangnya kapital yang dimiliki oleh pihak swasta, sehingga tidak mampu bergerak dibidang usaha pengangkutan tertentu.
2.  adanya pemilihan usaha pada rute-rute tertentu oleh pihak swasta yang secara ekonomis menguntungkan sehingga akan menuju kepada kapasitas yang berlebihan di daerah tertentu.
3.  karena kepemilikan secara swasta menyebabkan terpecah dan tersebarnya penyediaan jasa angkutan secara tidak terkoordinir sehingga tidak terdapat efisiensi dan keterpaduan dalam pelayanannya bagi masyarakat.
Hubungan antara pembangunan ekonomi dengan jasa pengangkutan adalah sangat erat sekali dan saling tergantung satu sama lainnya. Oleh karena itu untuk membangun perekonomian sendiri perlu didukung dengan perbaikan dalam bidang transpor atau pengangkutan ini. Perbaikan dalam transportasi ini pada umumnya berarti akan dapat menghasilkan terciptanya penurunan ongkos pengiriman barang-barang, terdapatnya pengangkutan barang-barang dengan kecepatan lebih besar dan perbaikan dalam kualitas atau sifat daripada jasa-jasa pengangkutan tersebut sendiri.

Perjanjian Pengangkutan
Perjanjian itu menimbulkan perikatan diantara dua orang yang membuatnya. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena kedua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.

Berakhirnya Perjanjian Pengangkutan
Untuk mengetahui berakhirnya pemajian pengangkutan perlu dibedakan dua keadaan yaitu:
1.      Dalam keadaan tidak  terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka perbuatan yang dijadikan ukuran ialah saat penyerahan dan pembayaran biaya pengangkuan ditempat tujuan yang disepakati.
2.      Dalam keadaan terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka perbuatan yang dijadikan ukuran ialah pemberesan kewajiban membayar ganti kerugian.

Tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan
1.      Tanggung Jawab Pengangkut
Saefullah Wirapradja  beirpendapat bahwa, setidak-tidaknya ada 3 prinsip tanggung jawab  pengangkut  dalam perjanjian pengangkutan :
a.       Prinsip Tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault liability)
Menurut prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian atas kerugian yang timbul akibat dari kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut itu. (Lihat Pasal 1365 BW)
b.      Prinsip   tanggung   jawab   berdasarkan   praduga (presumtion liability)
Pengangkut (diangga selalu bertanggung jawab atas kerugian yang  timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Tetapi jika pengangkut dapat rnembuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian.
c.        Prinsip Tanggung jawab mutlak (Absolute Itabilily)
Pengangkut harus bertanggung jawab nnembayar ganti kerugian   terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut.
2.      Tanggung jawab pengirim
Biasanya ongkos pengangkutan dibayar oleh sipengirim barang, tetapi ada kalanya juga dibayar oleh orang yang dialamatkan. Bagaimanapun juga, sipengangkut selalu berhak menuntut pembayaran ongkos pengangkutan itu kepada kedua-duanya, yaitu kepada sipengirim atau sipenerima barang.

BAB III
PENGANGKUTAN LAUT DAN PERAIRAN LAUT SERTA PERANTARA PENGANGKUTAN
Pokok Hukum Dagang Indonesia Tentang Pengangkutan
Pada perjanjian pengangkutan, baik menutupnya, maupun melaksanakan, kebanyakan kalinya diserahkan kepada orang lain, yang ahli dibidang yang bersangkutan. Begitulah misalnya pada waktu menutup perjanjian pengangkutan atau perjanjian carter kapal, untuk yang pertama diserahkan kepada ekspeditur, sedangkan bagi yang kedua kepada makelar kapal (cargadoor). Convooiloper atau agen duane (fungsi ini sekarang dikerjakan oleh EMKL) mengusahakan in dan uitklaring. Pengatur muatan (stuwadoor) atau juru-padat mengusahakan tentang pemuatan dan pembongkaran. Fungsi-fungsi ini terkadang bersatu dalam satu atau dua perusahaan, misalnya, ada perusahaan EMKL yang berfungsi sebagai ekspeditur, makelar kapal dan agen duane atau convooiloper, sedang perusahaan lain berfungsi sebagai pemuatan (stuwadoor) dan pembongkaran muatan.

Sifat Hukum Perrjanjian Ekspedisi
Perjanjian ekspedisi adalah perjanjian timbal-balik antara ekspeditur dengan pengirim, di mana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang baik bagi si pengirim, sedangkan si pengirim mengikatkan diri untuk membayar provisi kepada ekspeditur. Perjanjian ekspedisi ini mempunyai sifat hukum rangkap, yaitu "pelayanan berkala" (pasal 1601 KUHPER) dan "pemberian kuasa" (pasal l792 dsl KUHPER)

Tugas Ekspeditur
Dalam merumuskan tugas ekspeditur, sebagai yang dilakukan dalam pasal 86 ayat (1) KUHD, pembentuk undang-undang memakai istilah "doen vervoeren" (menyuruh mengangkut). Jadi, menurut pembentuik undang-undang tugas ekspeditur adalah terpisah dengan tugas pengangkut. Tugas ekspeditur hanya mencarikan pengangkut yang baik bagi si pengirim, dan tidak menyelenggarakan pengangkutan itu sendiri. Sedang "menyelenggarakan pengangkutan" adalah tugas pengangkut.

Kewajiban Dan Hak Ekspeditur
Berhubung dengan perjanjian ekspedisi itu mempunyai banyak sifat hukumnya seperti yang sudah Purwosutjipto uraikan di muka, maka sebagai akibatnya ekspeditur dapat mempunyai kewajiban-kewajiban dan hak-hak sebagai berikut:
a.       Sebagai pemegang kuasa.
b.      Sebagai komisioner.
c.       Sebagai penyimpan barang.
d.      Sebagai penyelenggara urusan
e.       Register dan surat muatan.
f.        Hak retensi

Tanggung Jawab Ekspeditur
Pasal 87 KUHD menetapkan tanggung jawab ekspeditur terhadap barang-barang yang telah diserahkan pengirim kepadanya untuk:
a.       menyelenggarakan pengiriman selekas-lekasnya dengan rapi pada barang-barang yang telah diterimanya dari pengirim;
b.      mengindahkan segala upaya untuk meiyamin keselamatan barang-barang tersebut.
Kecuali tanggung jawab seperti tersebut di atas, juga hal-hal di bawah ini menjadi tanggungjawabnya:
c.       pengambilan barang-barang dari gudang pengirim;
d.      bila perlu penyimpanan di gudang ekspeditur;
e.       pengambilan barang-barang muatan dari tempat (pelabuhan) tujuan untuk diserahkan kepada penerima yang berhak atau kepada pengangkut selanjutnya.
Tugas tersebut dalam huruf c, d, dan e hanya dilakukan bila tegas-tegas telah ditetapkan dalam perjanjian ekspedisi yang bersangkutan

BAB IV
PENGUSAHA TRANSPOR
Pengertian
Orang bertindak sebagai pengusaha transpor (transportondernemer), bila dia menerima barang-barang tertentu untuk diangkut dengan uang angkutan tertentu pula, tanpa mengikatkan diri untuk melakukan pengangkutan itu sendiri. Jadi, pengusaha transpor menerima seluruh pengangkutan dengan satu jumlah uang angkutan untuk seluruhnya, tetapi tidak, atau hanya sebagian saja yang diangkutnya sendiri.

Sifat Hukum Perbuatan Pengusaha Transpor
Meskipun pengusaha transpor itu menerima pekerjaan pengangkutan tertentu, tetapi tidak berarti bahwa dia melakukan pemborongan pekerjaan, sebagai yang diatur dalam pasal 1604 s.d. 1616 KUHPER. Perbuatan pengusaha transpor itu bukan pemborongan pekerjaan, karena tidak menimbulkan barang baru seperti halnya pada pemborongan.
Jadi, sifat perbuatan pengusaha transpor itu adalah pelayanan berkala. Kecuali sifat pelayanan berkala, perbuatan pengusaha transpor juga mengandung sifat lain, yaitu: Pemberian kuasa.Dalam hal ini si pengusaha transpor diberi kuasa oleh pengirim untuk melakukan segala macam pekerjaan bagi terselenggaranya pengangkutan yang aman sampai di tempat tujuan, yang selanjutnya harus diserahkan kepada penerima yang ditunjuk oleh pengirim.

BAB V
ANGKUTAN DARAT

Pengaturan Tentang Angkutan Darat
Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana telah dirumah dengan Undang-Undang No.9 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pengaturan Tentang Terminal
Pada hakekatnya terminal merupakan simpul dalam sistem jaringan transportasi jalan yang berfungsi pokok sebagai pelayanan umum antara lain berupa tempat untuk naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang, untuk pengendalian lalu lintas dan angkutan kendaraan umum, serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi. Sesuai dengan fungsi tersebut maka dalam pembangunan terminal perlu mempertimbangkan antara lain lokasi, tata ruang, kapasitas, kepadatan lalu lintas dan keterpaduan dengan moda transportasi lain.

Pengaturan Tentang Kendaraan
Bagian Pertama Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor
Bagian Kedua Pengujian Kendaraan Bermotor
Pengujian dimaksudkan agar kendaraan bermotor yang akan digunakan di jalan memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, termasuk persyaratan ambang batas emisi gas buang dan kebisingan yang harus dipenuhi. Kendaraan-kendaraan khusus harus diuji secara khusus, karena di samping memiliki peralatan standar yang dipersyaratkan untuk kendaraan bermotor pada umumnya, kendaraan khusus memiliki peralatan tambahan yang bersifat khusus untuk penggunaan khusus, misalnya katup penyelamat, tangki bertekanan dan lain sebagainya

Pengaturan Tentang Angkutan Jalan Raya
1.      UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2.      Yang menjadi objek adalah jalan angkutan umum bukan jalan khusus.
3.      Jalan umum adalah jalan yang dibuat, diselenggarakan oleh pemerintah. Contoh: jalan propinsi, jalan kabupaten.
4.      Jalan khusus adalah jalan yang dibuat bukan oleh pemerintah bisa oleh pribadi, badan, dsb. Contoh: jalan inspeksi pengairan, kompleks perumahan.
5.      Dalam UU tersebut, yang dimaksud adalah jalan umum. Dengan adanya istilah jalan umum dari UU tersebut juga berarti ada apa yang disebut dengan jalan khusus namun bukan menjadi objek yang dibicarakan dalam matakuliah ini.
6.     Jalan untuk kelancaran, misalnya atau pada umumnya adalah jalan kabupaten, jalan pedesaan.
8.      Jalan untuk kenyamanan, contohnya adalah jalan arteri, jalan tol.
9.      Untuk keselamatan di jalan maka dibuat marka jalan (tanda-tanda yang berada di permukaan jalan). Contohnya sebra cross, as jalan.
10.     Fungsi terminal yaitu alat pengendali lalu lintas karena kendaraan yang keluar masuk ke terminal adalah kendaraan yang mempunyai izin, dan diatur waktu keluar-masuknya terminal.
10.  Kewenangn LLAJR yaitu uji type dan uji berkala
11.  Angakutan darat memiliki hak retensi.
12.  Pengusaha angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian dari kelalaian dalam pekerjaan sebesar yang nyata-nyata diderita.

Perkretaapian
UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkretaapian
Karcis kereta api merupakan surat yang berharga karena: tidak dapat diperjual belikan (hanya PT. KA) dan sebagai alat bukti (tidak mempunyai hak tagih). Ganti rugi yang diberikan adalah sebesar asuransi yang ditutup badan penyelenggara. Pengertian kerugian yang diderita tidak termasuk keuntungan yang akan diperoleh dan biaya atas pelayanan yang udah dinikmati.

Pengaturan Tentang POS
UU No. 6 Tahun 1984 tentang POS
POS termasuk pengusaha transport. Pengusaha transport serupa tapi tak sama dengan pengusaha angkutan. Pengusaha angkutan menyelenggarakan angkutan dengan alat sendiri dan trayek sendiri, sedangkan pengusaha transport mengusahakan angkutan dengan alat sendiri ataupun bukan dan trayek sendiri ataupun orang lain, dengan ongkos angkut dibayar sekaligus.

BAB V
PENGANGKUTAN UDARA
Pengertian Pengangkutan Udara

Orang atau badan hukum yang mengadakan perjanjian angkutan untuk mengangkut penumpang dengan pesawat terbang dan menerima imbalan. Pengangukutan udara diatur dalam Undang – Undang nomer 15 tahun 1992 tentang Penerbangan. Angkutan udara diadakan dengan perjanjian antara pihak. Tiket penumpang atau bagasi merupakan tanda bukti telah terjadi perjanjian pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan.


 Fungsi dan Peranan Pengangkutan Udara
Pengangkutan udara yang diselenggarakan oleh PT. Garuda Indonesia berfungsi sebagai sarana perhubungan antar pulau yang tidak, atau belum terjangkau oleh perhubungan darat dan laut juga berfungsi sebagai alat pembinaan bagi tumbuh dan berkembangnya perusahaan pengangkutan udara di Indonesia. Ditinjau dari sudut perannya pengangkutan udara merupakan tatanan dari perhubungan, yang merupakan keterpaduan kegiatan transportasi darat, laut dan udara, yang meliputi pengangkutan penumpang, barang dan bagasi.
Perpaduan tersebut menentukan karakteristik dari pengangkutan-pengangkutan udara sebagai suatu mata rantai dari tatanan perhubungan.

Tanggung Jawab Pengangkutan Menurut Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatblad 1939-100
Pasal pokok dari Ordonansi Pengangkutan Udara mengenai tanggung jawab pengangkutan udara dalarn hal pengangkutan penumpang adalah pasal 24 ayat (1) yang berbunyi : “Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka-luka atau jelas-jelas lain pada tubuh yang diderita oleh penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya, dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang”.
Dan pasal tersebut ternyata bahwa pengangkut udara dianggap selalu bertanggung jawab, asal dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal itu, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1.      Adanya kecelakaan yang terjadi,
2.      Kecelakaan ini harus ada hubungannya dengan pengangkutan udara,
3.      Kecelakaan ini harus terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan yang berhubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang
Sedangkan menurut Undang-undang No. 15 tahun 1992 tentang penerbangan, pasal yang mengatur tentang tanggung jawab diatur dalam pasal 43 ayat (1) yang berbunyi :
“Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan bertanggung jawab atas
1.      Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut.
2.      Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut.
3.      Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut apabila terkait hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut

Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Udara Terhadap Penumpang
Prinsip-prinsip tanggung jawab khususnya untuk penumpang yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara adalah :
1. Prinsip Presumption of Liability
Bahwa seseorang pengangkut dianggap perlu bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi dan pengangkut udara tidak bertanggung jawab hanya bila la dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat menghindarkan kerugian itu.
2. Prinsip Limitation of Liability
Bahwa setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab, namun bertanggung jawab itu terbatas sampai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah Jiatur dalam Ordonansi Pengangkutan, Udara maupun Konvensi Warsawa.

Dari dua prinsip pokok tersebut di atas ada dua penyimpangan yaitu: Pengangkutan bertanggung jawab sampai jumlah yang dituntut tadi tidak terikat pada batas maksimum yang ditentukan, apabila
- Ada kesalahan berat dari pengangkut
- Ada perubahan sengaja dari pengangkut untuk menimbulkan kerugian
Pengangkutan bebas sama sekali dari tanggung jawabnya. apabila Pengangkut telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian yang timbul. Pengangkut tidak mungkin mengambil tindakan yang disebut diatas. Kerugian timbul karena kesalahan pada pengemudian, handlingpesawat atau navigasi dan semua tindakan yang perlu untuk mencegah timbulnya kerugian.

Bentuk-Bentuk Angkutan Udara Niaga
Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara, dinyatakan angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu Bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Dalam penyelanggraan angkutan udara dibedakan menjadi dua yaitu pertama,angkutan udara niaga dan kedua,angkutan udara bukan niaga.

Hubungan Hukum dan dokumen dalam Pengangkutan Udara
1. Konsep dan Pengertian Perjanjian Pengangkutan
Dari segi hukum, khusunya hukum perjanjian. Pengangkutan merupakan bentuk perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pihak yang diangkut (penumpang dan/atau pengirim) dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ke suatu tempat tujuan tertentu, dan pihak penumpang dan/atau pengirim mengikatkan dirinya pula untuk membayar sejumlah uang atau ongkos pengangkutan.

Perjanjian Pengangkutan Udara
Sebelum dipaparkan mengenai perjanjian pengangkutan udara terlebih dahulu dijelaskan mengenai hukum Pengangkutan Udara. Hukum pengangkutan udara adalah sekumpulan aturan (kaidah, norma) yang mengatur masalah lalu lintas yang berkaitan dengan pengangkutan penumpang dan barang dengan pesawat udara. Hukum pengangkutan udara (AirTransportation) adalah merupakan bagian daripada hukum penerbangan ( Aviation Law) dan hukum penerbangan merupakan bagian dari hukum udara(air Law).
Hukum udara adalah sekumpulan peraturan yang menguasai ruang udara serta penggunaannya di lingkungan penerbangan. Sedangkan hukum penerbangan adalah kumpulan peraturan yang secara khusus mengenai penerbangan, pesawat udara, ruang udara dan peranannya sebagai unsur yang perlu bagi penerbangan. Dengan demikian, hukum udara lebih luas cakupannya dari pada hukum penerbangan atau hukum pengangkutan udara.
Perjanjian pengangkutan udara adalah suatu perjanjian antara seorang pengangkut udara dan pihak penumpang atau pihak pengirim udara, dengan imbalan bayaran atau suatu prestasi lain. Dalam arti luas suatu perjanjian angkutan udara dapat merupakan sebagian dari suau perjanjian pemberian jasa dengan pesawat udara.
Berdasarkan rumusan perjanjian pengangkutan udara di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian pengangkutan udara harus terdapat beberapa unsur diantaranya adanya para pihak atau subjek hukum, adanya alat atau sarana pengangkut, adanya prestasi yang harus dilaksanakan oleh pengangkut, kemudian adanya kewajiban membayar ongkos atau biaya pengangkutan.

Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan Udara
Dalam perjanjian pengangkutan terdapat hak dan kewajiban para pihak yang harus dilaksanakan dengan baik. Hak dan kewajibana timbul karena adanya hubungan hokum diantara para pihak. Berikut dipaparkan hak dan kewajiban pengangkut dan penumpang pada transportasi udara.
a.      
Hak Pengangkut
Secara umum hak pengangkut adalah menerima pembayaran ongkos angkutan dari penumpang atau pengirim barang atas jasa angkutan yang telah diberikan.
b.      Kewajiban Pengangkut
Secara umum kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan barang atau penumpang beserta bagasinya dan menjaganya dengan sebaik-baiknya hingga sampai di tempat tujuan.
Hak dan Kewajiban Penumpang Pada Angkutan Udara
Hak Penumpang
Seorang penumpang dalam perjanjian angkutan udara tentunya mempunyai hak untuk diangkut ke tempat tujuan dengan pesawat udara yang telah ditunjuk atau dimaksudkan dalam perjanjian angkutan udara yang bersangkutan63. Di samping itu juga penumpang atau ahli warisnya berhak untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya sebagai akibat adanya kecelakaan penerbangan atas pesawat udara yang bersangkutan. Selain itu hak-hak penumpang lainnya adalah menerima dokumen yang menyatakannya sebagai penumpang, mendapatkan pelayanan yang baik, memperoleh keamanan dan keselamatan selama dalam proses pengangkutan dan lain-lain.
Kewajiban Penumpang
Sebagai salah satu pihak dalam perjanjian angkutan udara maka penumpang memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut:
a)      Membayar uang angkutan, kecuali ditentukan sebalinya
b)      Mengindahkan petunjuk-petunjuk dari pengangkut udara atau dari pegawai-pegawainya yang berwenang untuk itu
c)      Menunjukan tiketnya kepada pegawai-pegawai pengakut udara setiap saat apabila diminta
d)     Tunduk kepada peraturan-peraturan pengangkut udara mengenai syarat-syarat umum perjanjian angkutan muatan udara yang disetujuinya
e)      Memberitahukan kepada pengangkut udara tentang barang-barang berbahaya atau barang-barang terlarang yang dibawa naik sebagai bagasi tercatat atau sebagai bagasi tangan, termasuk pula barang-barang terlarang yang ada pada dirinya.

Sengketa dan Penyelesaian Sengketa dalam Kegiatan Pengangkutan
Sengketa dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan dimana adanya ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar. Dalam perspektif hukum, sengketa dapat berawal dari adanya suatu wanprestasi dari salah satu pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum.
Lahirnya suatu tanggung jawab hukum berawal dari adanya perikatan yang melahirkan hak dan kewajiban. Menurut ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata hak dan kewajiban (perikatan) bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang terbagi lagi menjadi perbuatan menurut hukum dan perbuatan melawan hukum, sedangkan timbulnya perikatan yang lahir karena perjanjian membebankan kepada para pihak yang melakukan perjanjian untuk melaksanakan hak dan kewajiban atau yang dikenal dengan ”prestasi”, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi maka dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi.
Penyelesaian sengketa dapat saja dilakukan oleh kedua belah pihak secara kooperatif, dibantu oleh orang lain atau pihak ketiga yang bersifat netral atau dengan cara lainnya. Pada intinya penyelesaian konflik antara pihak-pihak yang bersengketa terdapat dua cara yaitu litigasi dan non litigasi. Litigasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan, sedangkan non litigasi melalui jalur di luar pengadilan seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Setiap sengketa dalam hubungan hukum pada umumnya diselesaikan setidak-tidaknya melalui dua cara penyelesaian, yaitu :
1. penyelesaian secara damai,
2. penyelesaian melalui lembaga atau institusi yang berwenang.

Dokumen Pengangkutan Udara
Dokumen pengangkutan udara terdiri dari tiket penumpang (passenger ticket), tiket bagasi (baggage ticket), surat muatan udara (air way bill).Tiket penumpang merupakan alat bukti adanya perjanjian antara penumpang dengan perusahaan penerbangan. Namun demikian, bilamana tiket hilang atau rusak bukan berarti tidak ada perjanjian pengangkutan, karena alat bukti tersebut dapat dibuktikan dengan alat bukti lainnya misal bukti penerimaan uang oleh perusahaan penerbangan dari penumpang .

Pengaturan tentang Pengangkutan Udara
Ø  Dasar Hukum Penerbangan Nasional Indonesia
1.           Peraturan
a)      UU No. 5 Tahun 1985, sudah tidak berlaku sejak ada UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, namun kemungkinan Ppnya amsih berlaku sepanjang tidak bertentangan (katanya).
b)      OPU sudah tidak berlaku setelah UU No. 15 Tahun 1992.
c)      Luchtverkeersverordening, Stb. 1936 No. 425 yang mengatur tentang lalu lintas undara, seperti penerbangan, tanda-tanda isyarat yang harus dipergunakan di dalam penrbangan.
d)     Verordening Toesicht Luchtvaart, Stb. 1936 No. 426 yang mengatur pengawasan atas penerbangan, mengatur personil, syarat-syarat jasmani rokhani, pemeriksaan sebab-sebab kecelakaan dan lain-lain.
e)       Luchtvaartquorantieue ordonantie, Stb. 1939 No. 149 Jo. Stb. 1939 No. 50yang mengatur pencegahan penyakit menular bagi penumpang.
2.           Perjanjian Internasional
a)      Perjanjian Warsawa 12 Oktober 1929 dengan Stb. 1939 No. 344 yang membahas tentang pengangkutan udara internasional.
b)      Perjanjian Roma 29 Mei 1933, mengatur tentang tanggung jawab udara mengenai kerusakan atau kerugian yang dialami pihak ke-3 di muka bumi. Perjanjian ini telah diperbaharui pada tahun 1952.
3.      Ilmu Pengetahuan.
Ø  UU No. 15 Tahun 1992