Resume Buku ajar Hukum Pengangkutan
BAB I
PENDAHULUAN
Ruang Lingkup Pengangkutan Pada Umumnya
Istilah ”Pengangkutan” berasal dari kata ”angkut” yang berarti
”mengangkut dan membawa”, sedangkan istilah ”pengangkutan” dapat diartikan
sebagai ”pembawaan barang-barang atau orang-orang (penumpang)”. Pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi
selalu didukung oleh dokumen angkutan. Perjanjian pengangkutan dapat juga
dibuat tertulis yang disebut carter (charterparty).
Jadi perjanjian pengangkutan pada umumnya diadakan secara lisan, yang didukung
oleh dokumen yang membuktikan bahwa perjanjian itu sudah terjadi. Jadi pengangkutan itu berupa suatu wujud kegiatan dengan
maksud memindahkan barang-barang atau penumpang (orang) dari tempat asal ke
suatu tempat tujuan tertentu”.
Pengangkutan
sebagai usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Berdasarkan suatu
perjanjian;
2) Kegiatan ekonomi
di bidang jasa;
3) Berbentuk
perusahaan;
4) Menggunakan alat
angkut mekanik.
Pengangkutan
sebagai suatu proses mengandung makna sebagai serangkaian perbuatan mulai dari
pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian dibawa menuju tempat yang telah ditentukan,
dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan31. Sedangkan pendapat lain menyatakan pengangkutan niaga adalah
rangkaian kegiatan atau peristiwa pemindahan penumpang dan/atau barang dari
suatu tempat pemuatan ke tempat tujuan sebagai tempat penurunan penumpang atau
pembongkaran barang.
Rangkaian
kegiatan pemindahan tersebut meliputi :
a) Dalam arti luas,
terdiri dari:
1
memuat penumpang dan/atau
barang ke dalam alat pengangkut
2
membawa penumpang dan/atau
barang ke tempat tujuan
3
menurunkan penumpang atau
membongkar barang-barang di tempat tujuan.
b) Dalam arti
sempit, meliputi kegiatan membawa penumpang dan/atau barang dari
stasiun/terminal/pelabuhan/bandar udara tempat tujuan.
Secara
yuridis defenisi atau pengertian pengangkutan pada umumnya tidak ditemukan
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Walaupun demikian,
pengangkutan itu menurut hukum atau secara yuridis dapat didefenisikan sebagai
suatu perjanjian timbal balik antara pihak pengangkut dengan pihak yang
diangkut atau pemilik barang atau pengirim,dengan memungut biaya pengangkutan.
Klasifikasi Transportasi atau Angkutan
Transportasi
atau pengangkutan dapat dikelompokan menurut macam atau moda atau jenisnya (modes of transportation) yang dapat ditinjau dari segi barang yang
diangkut, dari segi geografis transportasi itu berlangsung, dari sudut teknis
serta dari sudut alat angkutannya. Secara rinci klasifakasi transportasi
sebagai berikut :
1) Dari segi barang
yang diangkut, transportasi meliputi:
a) angkutan
penumpang (passanger);
b) angkutan barang (goods);
c) angkutan pos (mail).
2) Dari sudut
geografis. Ditinjau dari sudut geografis, transportasi dapat dibagi menjadi;
a) Angkutan antar
benua: misalnya dari Asia ke Eropah;
b) Angkutan antar
kontinental: misalnya dari Francis ke Swiss dan diseterusnya sampai ke Timur
Tengah;
c) Angkutan antar
pulau: misalnya dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera;
d) Angkutan antar kota: misalnya dari Jakarta ke Bandung;
e) Angkutan antar
daerah: misalnya dari Jawa Barat ke Jawa Timur;
f) Angkutan di
dalam kota: misalnya kota Medan, Surabaya dan lain-lain.
3) Dari sudut teknis
dan alat pengangkutnya, Jika dilihat dari sudut teknis dan alatangkutnya, maka
transportasi dapat dibedakan sebagai berikut:
a) Angkutan jalan
raya atau highway transportation(road
transportation),seperti pengangkutan dengan menggunakan truk,bus dan sedan;
b) Pengangkutan rel
(rail transportation), yaitu angkutan kereta api, trem listrik dan
sebagainya. Pengangkutan jalan raya dan pengangkutan rel kadang-kadang
keduanyadigabung dalam golongan yang disebut rail and road transportation atau
landtransportation (angkutan darat);
c) Pengangkutan
melalui air di pedalaman (inland transportation),
seperti pengangkutan sungai, kanal, danau dan sebagainya;
d) Pengangkutan pipa (pipe line
transportation), seperti transportasi untuk mengangkutatau mengalirkan minyak tanah, bensin dan air
minum;
e) Pengangkutan laut atau samudera (ocean
transportation), yaitu angkutan denganmenggunakan kapal laut yang
mengarungi samudera;
f) Pengangkutan udara (transportation
by air atau air transportation), yaitupengangkutan dengan menggunakan kapal
terbang yang melalui jalan udara.
Fungsi dan Kegunaan Pengangkutan atau transportasi
Dalam
ilmu ekonomi dikenal beberapa bentuk nilai dan kegunaan suatu benda, yaitunilai
atau kegunaan benda berdasarkan tempat (place
utility)dan nilai atau kegunaan karena waktu (time utility). Kedua nilai tersebut secara ekonomis akan diperoleh
jika barang-barangatau benda tersebut diangkut ketempat dimana nilainya lebih
tinggi dan dapatdimanfaatkan tepat pada waktunya. Dengan demikian pengangkutan
memberikan jasalepada masyarakat yang disebut” jasa pengangkutan”.
Selanjutnya
dinyatakan bahwa peran penting dari transportasi dikaitkan dengan aspekekonomi
dan sosial-ekonomi bagi masyarakat dan negara, yaitu sebagi berikut:
1. Berperan dalam
hal ketersediaan barang (availability of
goods);
2. Stabilisasi dan
penyamaan harga (stabilization and
equalization);
3. Penurunan harga (
price reduction);
4. Meningkatkan
nilai tanah (land value);
5. Terjadinya
spesialisasi antar wilayah(territorial
division of labour);
6. Berkembangnya usaha skala besar(large
scale production);
7. Terjadinya
urbanisasi dan konsentrasi penduduk(urbanization
and population concentration) dalam kehidupan.
Asas-Asas Hukum Pengangkutan
Di
dalam hukum pengangkutan juga terdapat asas-asas hukum, yang terbagi ke dalam
dua jenis, yaitu bersifat publik dan bersifat perdata, asas yang bersifat
publik merupakan landasan hukum pengangkutan yang berlaku dan berguna bagi
semua pihak, yaitu pihak-pihakdalam pengangkutan, pihak ketiga yang
berkepentingan dengan pengangkutan, dan pihak pemerintah.
1.
Asas-asas Hukum Pengangkutan Bersifat Publik
Ada
beberapa asas hukum pengangkutan yang bersifat publik, yaitu sebagai berikut:
a. Asas manfaat yaitu, bahwa penerbangan harus dapat memberikan manfaat
sebesar-besarnyabagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan
pengembanganperikehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara, serta upaya
peningkatanpertahanan dan keamanan negara;
b. Asas usaha bersama
dan kekeluargaan yaitu, bahwa penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan
dilaksanakan untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang dalam
kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai
olehsemangat kekeluargaan;
c. Asas adil dan merata
yaitu, bahwa penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang
adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau
oleh masyarakat;
d. Asas keseimbangan
yaitu, bahwa penerbangan harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga
terdapat keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana,
antarakepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan
masyarakat,serta antara kepentingan nasional dan internasional;
e. Asas kepentingan umum yaitu, bahwa penyelenggaraan penerbangan harus
mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas;
f. Asas keterpaduan
yaitu, bahwa penerbangan harus merupakan kesatuan yang bulat danutuh, terpadu,
saling menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antar modal transportasi;
g. Asas kesadaran hukum yaitu, bahwa mewajibkan kepada pemerintah untuk
menegakkandan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga
negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan
penerbangan;
h. Asas percaya pada diri sendiri yaitu, bahwa penerbangan harus
berlandaskan padakepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta
bersendikan kepadakepribadian bangsa.
i. Asas keselamatan Penumpang, yaitu bahwa setiap penyelenggaraan
pengangkutanpenumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan.
2. Asas Hukum Pengangkutan
Bersifat Perdata
Dalam
kegiatan pengangkutan terdapat hubungan hukum antara pihak pengangkut dan
penumpang, hubungan hukum tersebut harus di dasarkan pada asas-asas hukum .
Asas-asashukum pengangkutan bersifat perdata terdiri dari :
a. Asas konsensual
yaitu, perjanjian pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuktertulis, sudah
cukup dengan kesepakatan pihak-pihak. Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa
perjanjian itu sudah terjadi atau sudaha ada harus dibuktikan dengan atau
didukungdengan dokumen pengangkutan;
b. Asas Koordinatif
yaitu, pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai kedudukan yang setara atau
sejajar, tidak ada pihak yang mengatasi atau membawahi yang lain.
Meskipunpengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah penumpang atau
pengirim barang, pengangkut bukan bawahan penumpang atau pengirim barang.
Pengangkut merupakan salah satu bentuk pemberian kuasa.
c. Asas campuran yaitu, pengangkutan merupakan campuran dari 3 (tiga)
jenis perjanjianyakni, pemberian kuasa, peyimpanan barang dan melakukan
pekerjaan dari pengirimkepada pengangkut. Ketentuan ketiga jenis perjanjian ini
berlaku pada pengangkutan,kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian
pengangkutan.
d. Asas pembuktian dengan dokumen yaitu, setiap pengangkutan selalu
dibuktikan dengan dokumen angkutan, tidak ada dokumen pengangkutan berarti
tidak ada perjanjianpengangkutan, kecuali jika kebiasaan yang sudah berlaku
umum, misalnya pengangkutanuntuk jarak dekat biasanya tidak ada dokumen atau
tiket penumpang, contohnya angkutan dalam kota.
Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan
Dalam
hukum pengangkut terdapat tiga prinsip atau ajaran dalam menentukan tanggung jawab
pengangkut, yaitu sebagai berikut :
1. Prinsip tanggungjawab
atas dasar kesalahan (the based on fault
atau liability based onfault principle);
2. Prinsip tanggungjawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liabilityprinciple);
3. Prinsip tanggungjawab mutlak (no
fault, atau strict liability, absolute liabilityprinciple).
Sumber Hukum Pengangkutan
Secara
umum sumber hukum diartikan sebagai tempat dapat menemukan hukum atautempat
mengenali hukum. Sumber hukum dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum material(amaterial sources of law) dan sumber hukum dalam arti formal (a formal sources of law).
Sumber
hukum materil adalah sumber dari mana diperoleh bahan hukum dan bukankekuatan
berlakunya, dalam hal ini keputusan resmi dari hakim/pengadilan yang memberikan kekuatan
berlakunya, sedangkan sumber hukum formal adalah sumber dari sumber mana suatu peraturan
hukum memperoleh kekuatan dan sah berlakunya. Sumber hukum formal adalah kehendak
negara sebagai mana dijelaskan dalam undang-undang atau putusan-putusan pengadilan.
Sumber hukum yang telah dirumuskan peraturannya dalam suatu bentuk, berdasarkan
apa ia berlaku, ia ditaati orang dan mengikat hakim, serta pejabat hukum.
Itulah sumber-sumber hukum dalam arti formal, atau dapat juga disebut
sumber-sumber berlakunya hukum karena ia adalah sebagai causa
efficiens.
Beberapa
sumber hukum angkutan udara yang bersifat ineternasional,(Konvensi-konvensi
internasional dalam bidang angkutan udara) yaitu sebagai berikut:
a) Konvensi Warsawa
(Warsaw Convention) 1929.
Konvensi
ini antara lain mengatur hal pokok, yaitu pertama mengatur masalah dokumen
angkutan udara (chapter II article 3-16) dan yang kedua mengatur masalah
tanggungjawab pengangkut udara.
b) Konvensi Geneva.
Konvensi
Geneva ini mengatur tentang “International
Recognition of Right inAircraft”. Dalam Konvensi Geneva Indonesia tidak
turut serta. Namun demikian dari segi ilmu hukum konvensi ini penting sekali
adanya, karena baik “mortage” (dalam hukum Anglosaxon) maupun “hipotik” (dalam
hukum Kontinental) atas pesawat udara dan peralatannya dapatdiakui secara
internasional oleh negara-negara pesertanya.
c) Konvensi Roma
1952
Nama
lengkap dari Konvensi ini adalah “Convention
on Damage Caused by ForeignAircraft to Third Parties on the Surface”,
ditandatangani di Roma pada tanggal 7 Oktober 1952 dan merupakan pengganti dari
konvensi Roma sebelumnya (tahun 1933). Konvensi Roma tahun 1952 ini mengatur
masalah tanggungjawab operator pesawat terbang asing terhadap pihak ketiga di
darat yang menderita kerugian yang ditimbulkan oleh operatorpesawat terbang
asing tersebut. Peserta Konvensi Roma tahun 1952 tersebut pesertanya tidak
begitu banyak, dan Indonesia pun tidak ikut serta di dalamnya.
d) Protokol Hague
1955
Protocol
Hague 1955 yang ditandatangani pada tanggal 28 September 1955, berisi beberapa
amandemen terhadap Konvensi Warsawa 1929 seperti masalah kenaikan limit ganti
rugi untuk penumpang, penyederhanaan dan penyempurnaan tiket penumpang dan
surat muatan udara.
e) Konvensi
Guadalajara 1961
Pada
pokoknya Konvensi Guadalajara memperlakukan ketentuan Konvensi Warsawaterhadap
angkutan udara yang dilakukan oleh pengangkut yang bukan merupakan pengangkut
yang mengadakan perjanjian pengangkutan udara. Sehingga dengan demikian system
tanggungjawab yang dianut sama dengan Konvensi Warsawa.
f) Protokol
Guatemala
Protokol
Guatemala yang ditandatangani pada tanggal 8 Maret 1971 memuat
perubahan-perubahan penting atas beberapa ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan
Protocol Hague, terutama dalam hal prinsip tanggung jawab pengangkut terhadap
penumpang dan bagasi.
BAB II
PENGANGKUTAN DALAM
PERANAANNYA DI BIDANG EKONOMI
Pihak-Pihak
Yang Terkait Dalam Pengangkutan
Yang dimaksud dengan
pihak-pihak dalam pengangkutan adalah para subjek hukum sebagai pendukung hak
dan kewajiban dalam hubungan hukum pengangkutan.
a.
Pengangkut (Carrier)
Dalam perjanjian pengangkutan penumpang, pihak
pengangkut yakni pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan
penumpang dan berhak atas penerimaan pembayaran tarif (ongkos) angkutan sesuai yang
telah ditetapkan.
b.
Pengirim ( Consigner, Shipper)
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia tidak
mengatur definisi pengirim secara umum. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam
perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk
membayar pengangkutan barang dan atas dasar itu dia berhak memperoleh pelayanan
pengangkutan barang dari pengangkut.
c. Penumpang (Passanger)
Penumpang adalah pihak yang berhak mendapatkan
pelayanan jasa angkutan penumpang dan berkewajiban untuk membayar tarif
(ongkos) angkutan sesuai yang ditetapkan.
d.
Penerima (Consignee)
Dalam perjanjian pengangkutan, penerima mungkin
pengirim sendiri, mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal
penerima adalah pengirim, maka penerima adalah pihak dalam perjanjian
pengangkutan. Dalam penerima adalah pihak ketiga yang berkepentingan, penerima
bukan pihak dalam perjanjian pengangkutan, melainkan sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan atas barang kiriman, tetapi tergolong juga sebagai subjek hukum
pengangkutan. Adapun kriteria penerima menrut perjanjian, yaitu :
1. perusahaan atau perorangan yang memperoleh hak
dari pengirim barang;
2. dibuktikan dengan penguasaan dokumen
pengangkutan;
3. membayar atau tanpa membayar biaya pengangkutan.
e. Ekspeditur
Ekspeditur digolongkan sebagai subjek hukum
pengangkutan karena mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengirim atau
pengangkut atau penerima barang. Ekspeditur berfungsi sebagai perantara dalam perjanjian pengangkutan yang bertindak atas nama
pengirim. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui kriteria ekspeditur
menurut ketentuan undang-undang, yaitu:
1. perusahaan pengantara pencari pengangkut barang;
2. bertindak untuk dan atas nama pengirim; dan
3. menerima provisi dari pengirim.
f. Agen Perjalanan ( Travel Agent)
Agen perjalanan (travel agent) dikenal dalam perjanjian pengangkutan penumpang. Agen
perjalanan digolongkan sebagai subjek hukum pengangkutan karena mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan pengangkut, yaitu perusahaan pengangkutan
penumpang. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditentukan kriteria agen
perjalanan menurut undang-undang, yaitu :
1. pihak dalam perjanjian keagenan perjalanan;
2. bertindak untuk dan atas nama pengangkut;
3. menerima provisi (imbalan jasa) dari pengangkut;
dan
4. menjamin penumpang tiba di tempat tujuan dengan
selamat.
g.
Pengusaha Muat Bongkar (Stevedoring)
Menurut Pasal 1 butir 16 Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 1999 pengusaha muat bongkar adalah ”kegiatan usaha yang bergerak
dalam bidang bongkar muat barang dan/atau hewan dari dan ke kapal”. Perusahaan
ini memiliki tenaga ahli yang pandai menempatkan barang di dalam ruang kapal
yang terbatas itu sesuai dengan sifat barang, ventilasi yang diperlukan, dan
tidak mudah bergerak/bergeser. Demikian juga ketika membongkar barang dari
kapal diperlukan keahlian sehingga barang yang dapat dibongkar dengan mudah,
efisien, dan tidak menimbulkan kerusakan.
Menurut Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
1999 untuk memperoleh izin usaha bongkar muat, wajib memenuhi persyaratan :
1. memiliki modal dan peralatan yang cukup sesuai
dengan perkembangan teknologi;
2. memiliki tenaga ahli yang sesuai;
3. memiliki akte pendirian perusahaan;
4. memiliki surat keterangan domisili perusahaan;
dan
5. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
h. Pengusaha Pergudangan (Warehousing)
Menurut Pasal 1 alinea kedua Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 1969, pengusaha pergudangan adalah ”perusahaan yang
bergerak di bidang jenis jasa penyimpanan barang di dalam gudang pelabuhan
selama barang yang bersangkutan menunggu pemuatan ke dalam kapal atau penunggu
pemuatan ke dalam kapal atau menunggu pengeluarannya dari gudang pelabuhan yang
berada di bawah pengawasan Dinas Bea dan Cukai”.
Objek
Hukum Pengangkutan
adalah segala sasaran yang digunakan untuk
mencapai tujuan. Sasaran tersebut pada pokoknya
meliputi barang muatan, alat pengangkut, dan biaya angkutan. Jadi objek hukum
pegangkutan adalah barang muatan, alat pengangkut, dan biaya yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum
pengangkutan niaga, yaitu terpenuhinya kewajiban dan hak pihak-pihak secara
benar, adil, dan bermanfaat.
Pengangkutan
dan Peranannya dalam Perekonomian
Pada waktu yang telah diselenggarakan oleh
pemerintah kita melalui badan usaha mlik negara adalah pengangkutan kereta api,
pengangkutan udara, pelayaran antar pulau di samping bidang-bidang komunikasi
lainnya. Ada banyak pula usaha di bidang transportasi ini yang dimiliki,
diselenggarakan, dan diusahakan oleh pihak swasta. Seperti diketahui, tujuan
ekonomi adalah memenuhi kebutuhan manusia dengan menciptakan manfaat.
Pengangkutan adalah satu jenis kegiatan yang menyangkut peningkatan kebutuhan
manusia dengan mengubah letak geografi orang maupun barang. Ada tiga faktor
ekonomis alasan kenapa pemerintah memiliki dan mengusahakan sendiri upaya
transpor ini, yaitu :
1. kurangnya kapital yang dimiliki oleh pihak swasta, sehingga
tidak mampu bergerak dibidang usaha pengangkutan tertentu.
2. adanya pemilihan usaha pada rute-rute tertentu oleh pihak
swasta yang secara ekonomis menguntungkan sehingga akan menuju kepada kapasitas
yang berlebihan di daerah tertentu.
3. karena kepemilikan secara swasta menyebabkan terpecah dan
tersebarnya penyediaan jasa angkutan secara tidak terkoordinir sehingga tidak
terdapat efisiensi dan keterpaduan dalam pelayanannya bagi masyarakat.
Hubungan
antara pembangunan ekonomi dengan jasa pengangkutan adalah sangat erat sekali
dan saling tergantung satu sama lainnya. Oleh karena itu untuk membangun
perekonomian sendiri perlu didukung dengan perbaikan dalam bidang transpor atau
pengangkutan ini. Perbaikan dalam transportasi ini pada umumnya berarti akan
dapat menghasilkan terciptanya penurunan ongkos pengiriman barang-barang,
terdapatnya pengangkutan barang-barang dengan kecepatan lebih besar dan
perbaikan dalam kualitas atau sifat daripada jasa-jasa pengangkutan tersebut
sendiri.
Perjanjian Pengangkutan
Perjanjian itu menimbulkan
perikatan diantara dua orang yang membuatnya. Suatu perjanjian juga dinamakan
persetujuan, karena kedua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.
Berakhirnya Perjanjian
Pengangkutan
Untuk mengetahui berakhirnya pemajian pengangkutan perlu dibedakan
dua keadaan yaitu:
1. Dalam keadaan
tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan
kerugian, maka perbuatan yang dijadikan ukuran ialah saat penyerahan dan
pembayaran biaya pengangkuan ditempat tujuan yang disepakati.
2. Dalam keadaan
terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka perbuatan yang dijadikan
ukuran ialah pemberesan kewajiban membayar ganti kerugian.
Tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan
1. Tanggung Jawab
Pengangkut
Saefullah Wirapradja
beirpendapat bahwa, setidak-tidaknya ada 3 prinsip tanggung jawab pengangkut
dalam perjanjian pengangkutan :
a. Prinsip Tanggung
jawab berdasarkan kesalahan (fault liability)
Menurut prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam
penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian
atas kerugian yang timbul akibat dari kesalahannya itu. Pihak yang menderita
kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut itu. (Lihat Pasal 1365 BW)
b. Prinsip tanggung
jawab berdasarkan praduga (presumtion liability)
Pengangkut (diangga selalu bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari pengangkutan yang
diselenggarakannya. Tetapi jika pengangkut dapat rnembuktikan bahwa ia tidak
bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian.
c. Prinsip Tanggung jawab mutlak (Absolute
Itabilily)
Pengangkut harus bertanggung jawab nnembayar ganti kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari
pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya
kesalahan pengangkut.
2. Tanggung jawab
pengirim
Biasanya ongkos pengangkutan
dibayar oleh sipengirim barang, tetapi ada kalanya juga dibayar oleh orang yang
dialamatkan. Bagaimanapun juga, sipengangkut selalu berhak menuntut pembayaran
ongkos pengangkutan itu kepada kedua-duanya, yaitu kepada sipengirim atau
sipenerima barang.
BAB III
PENGANGKUTAN LAUT DAN PERAIRAN LAUT SERTA
PERANTARA PENGANGKUTAN
Pokok Hukum Dagang Indonesia Tentang Pengangkutan
Pada perjanjian pengangkutan, baik menutupnya, maupun melaksanakan,
kebanyakan kalinya diserahkan kepada orang lain, yang ahli dibidang yang
bersangkutan. Begitulah misalnya pada waktu menutup perjanjian pengangkutan
atau perjanjian carter kapal, untuk yang pertama diserahkan kepada ekspeditur,
sedangkan bagi yang kedua kepada makelar kapal (cargadoor). Convooiloper atau
agen duane (fungsi ini sekarang dikerjakan oleh EMKL) mengusahakan in dan
uitklaring. Pengatur muatan (stuwadoor) atau juru-padat mengusahakan tentang
pemuatan dan pembongkaran. Fungsi-fungsi ini terkadang bersatu dalam satu atau
dua perusahaan, misalnya, ada perusahaan EMKL yang berfungsi sebagai
ekspeditur, makelar kapal dan agen duane atau convooiloper, sedang perusahaan
lain berfungsi sebagai pemuatan (stuwadoor) dan pembongkaran muatan.
Sifat Hukum Perrjanjian
Ekspedisi
Perjanjian ekspedisi adalah perjanjian timbal-balik antara
ekspeditur dengan pengirim, di mana ekspeditur mengikatkan diri untuk
mencarikan pengangkut yang baik bagi si pengirim, sedangkan si pengirim
mengikatkan diri untuk membayar provisi kepada ekspeditur. Perjanjian ekspedisi
ini mempunyai sifat hukum rangkap, yaitu "pelayanan berkala" (pasal
1601 KUHPER) dan "pemberian kuasa" (pasal l792 dsl KUHPER)
Tugas Ekspeditur
Dalam merumuskan tugas ekspeditur, sebagai yang dilakukan dalam
pasal 86 ayat (1) KUHD, pembentuk undang-undang memakai istilah "doen
vervoeren" (menyuruh mengangkut). Jadi, menurut pembentuik undang-undang
tugas ekspeditur adalah terpisah dengan tugas pengangkut. Tugas ekspeditur
hanya mencarikan pengangkut yang baik
bagi si pengirim, dan tidak menyelenggarakan pengangkutan itu sendiri. Sedang
"menyelenggarakan pengangkutan" adalah tugas pengangkut.
Kewajiban Dan Hak
Ekspeditur
Berhubung dengan perjanjian ekspedisi itu mempunyai banyak sifat
hukumnya seperti yang sudah Purwosutjipto uraikan di muka, maka sebagai
akibatnya ekspeditur dapat mempunyai kewajiban-kewajiban dan hak-hak sebagai
berikut:
a. Sebagai pemegang kuasa.
b. Sebagai komisioner.
c. Sebagai penyimpan barang.
d. Sebagai penyelenggara urusan
e. Register dan surat muatan.
f. Hak retensi
Tanggung Jawab Ekspeditur
Pasal 87 KUHD menetapkan tanggung jawab ekspeditur terhadap
barang-barang yang telah diserahkan pengirim kepadanya untuk:
a. menyelenggarakan
pengiriman selekas-lekasnya dengan rapi pada barang-barang yang telah
diterimanya dari pengirim;
b. mengindahkan
segala upaya untuk meiyamin keselamatan barang-barang tersebut.
Kecuali tanggung jawab seperti tersebut di atas, juga hal-hal di
bawah ini menjadi tanggungjawabnya:
c. pengambilan
barang-barang dari gudang pengirim;
d. bila perlu
penyimpanan di gudang ekspeditur;
e. pengambilan
barang-barang muatan dari tempat (pelabuhan) tujuan untuk diserahkan kepada
penerima yang berhak atau kepada pengangkut selanjutnya.
Tugas tersebut dalam huruf c, d,
dan e hanya dilakukan bila
tegas-tegas telah ditetapkan dalam perjanjian ekspedisi yang bersangkutan
BAB IV
PENGUSAHA TRANSPOR
Pengertian
Orang bertindak sebagai pengusaha transpor (transportondernemer), bila dia menerima barang-barang tertentu
untuk diangkut dengan uang angkutan tertentu pula, tanpa mengikatkan diri untuk
melakukan pengangkutan itu sendiri. Jadi, pengusaha transpor menerima seluruh
pengangkutan dengan satu jumlah uang angkutan untuk seluruhnya, tetapi tidak,
atau hanya sebagian saja yang diangkutnya sendiri.
Sifat Hukum Perbuatan
Pengusaha Transpor
Meskipun pengusaha transpor itu menerima pekerjaan pengangkutan
tertentu, tetapi tidak berarti bahwa dia melakukan pemborongan pekerjaan,
sebagai yang diatur dalam pasal 1604 s.d. 1616 KUHPER. Perbuatan pengusaha
transpor itu bukan pemborongan pekerjaan, karena tidak menimbulkan barang baru
seperti halnya pada pemborongan.
Jadi, sifat perbuatan pengusaha transpor itu adalah pelayanan berkala. Kecuali sifat
pelayanan berkala, perbuatan pengusaha transpor juga mengandung sifat lain,
yaitu: Pemberian kuasa.Dalam hal ini
si pengusaha transpor diberi kuasa oleh pengirim untuk melakukan segala macam
pekerjaan bagi terselenggaranya pengangkutan yang aman sampai di tempat tujuan,
yang selanjutnya harus diserahkan kepada penerima yang ditunjuk oleh pengirim.
BAB V
ANGKUTAN DARAT
Pengaturan Tentang
Angkutan Darat
Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan sebagaimana telah dirumah dengan Undang-Undang No.9 tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pengaturan Tentang
Terminal
Pada hakekatnya terminal merupakan simpul dalam sistem jaringan
transportasi jalan yang berfungsi pokok sebagai pelayanan umum antara lain
berupa tempat untuk naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang, untuk
pengendalian lalu lintas dan angkutan kendaraan umum, serta sebagai tempat
perpindahan intra dan antar moda transportasi. Sesuai dengan fungsi tersebut
maka dalam pembangunan terminal perlu mempertimbangkan antara lain lokasi, tata
ruang, kapasitas, kepadatan lalu lintas dan keterpaduan dengan moda
transportasi lain.
Pengaturan Tentang Kendaraan
Bagian Pertama Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor
Bagian Kedua Pengujian Kendaraan Bermotor
Pengujian dimaksudkan agar kendaraan bermotor yang akan digunakan di
jalan memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, termasuk persyaratan ambang
batas emisi gas buang dan kebisingan yang harus dipenuhi. Kendaraan-kendaraan
khusus harus diuji secara khusus, karena di samping memiliki peralatan standar
yang dipersyaratkan untuk kendaraan bermotor pada umumnya, kendaraan khusus
memiliki peralatan tambahan yang bersifat khusus untuk penggunaan khusus,
misalnya katup penyelamat, tangki bertekanan dan lain sebagainya
Pengaturan Tentang
Angkutan Jalan Raya
1. UU No. 14 Tahun
1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2. Yang menjadi
objek adalah jalan angkutan umum bukan jalan khusus.
3. Jalan umum adalah
jalan yang dibuat, diselenggarakan oleh pemerintah. Contoh: jalan propinsi,
jalan kabupaten.
4. Jalan khusus
adalah jalan yang dibuat bukan oleh pemerintah bisa oleh pribadi, badan, dsb.
Contoh: jalan inspeksi pengairan, kompleks perumahan.
5. Dalam UU tersebut,
yang dimaksud adalah jalan umum. Dengan adanya istilah jalan umum dari UU
tersebut juga berarti ada apa yang disebut dengan jalan khusus namun bukan
menjadi objek yang dibicarakan dalam matakuliah ini.
6. Jalan untuk
kelancaran, misalnya atau pada umumnya adalah jalan kabupaten, jalan pedesaan.
8. Jalan untuk
kenyamanan, contohnya adalah jalan arteri, jalan tol.
9. Untuk keselamatan
di jalan maka dibuat marka jalan (tanda-tanda yang berada di permukaan jalan).
Contohnya sebra cross, as jalan.
10. Fungsi terminal yaitu alat pengendali lalu lintas karena kendaraan yang keluar masuk ke
terminal adalah kendaraan yang mempunyai izin, dan diatur waktu keluar-masuknya
terminal.
10. Kewenangn LLAJR yaitu
uji type dan uji berkala
11. Angakutan darat
memiliki hak retensi.
12. Pengusaha angkutan
umum bertanggung jawab atas kerugian dari kelalaian dalam pekerjaan sebesar
yang nyata-nyata diderita.
Perkretaapian
UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkretaapian
Karcis kereta api merupakan surat yang berharga karena: tidak dapat
diperjual belikan (hanya PT. KA) dan sebagai alat bukti (tidak mempunyai hak
tagih). Ganti rugi yang diberikan adalah sebesar asuransi yang ditutup badan
penyelenggara. Pengertian kerugian yang diderita tidak termasuk keuntungan yang
akan diperoleh dan biaya atas pelayanan yang udah dinikmati.
Pengaturan Tentang POS
UU No. 6 Tahun 1984 tentang POS
POS termasuk pengusaha transport. Pengusaha transport serupa tapi
tak sama dengan pengusaha angkutan. Pengusaha angkutan menyelenggarakan
angkutan dengan alat sendiri dan trayek sendiri, sedangkan pengusaha transport
mengusahakan angkutan dengan alat sendiri ataupun bukan dan trayek sendiri
ataupun orang lain, dengan ongkos angkut dibayar sekaligus.
BAB V
PENGANGKUTAN UDARA
Pengertian
Pengangkutan Udara
Orang atau badan hukum yang
mengadakan perjanjian angkutan untuk mengangkut penumpang dengan pesawat
terbang dan menerima imbalan. Pengangukutan udara diatur dalam Undang – Undang
nomer 15 tahun 1992 tentang Penerbangan. Angkutan udara diadakan dengan
perjanjian antara pihak. Tiket penumpang atau bagasi merupakan tanda bukti
telah terjadi perjanjian pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan.
Fungsi dan Peranan Pengangkutan Udara
Pengangkutan udara yang diselenggarakan oleh
PT. Garuda Indonesia berfungsi sebagai sarana perhubungan antar pulau yang
tidak, atau belum terjangkau oleh perhubungan darat dan laut juga berfungsi
sebagai alat pembinaan bagi tumbuh dan berkembangnya perusahaan pengangkutan
udara di Indonesia. Ditinjau dari sudut perannya pengangkutan udara merupakan
tatanan dari perhubungan, yang merupakan keterpaduan kegiatan transportasi
darat, laut dan udara, yang meliputi pengangkutan penumpang, barang dan bagasi.
Perpaduan tersebut menentukan karakteristik
dari pengangkutan-pengangkutan udara sebagai suatu mata rantai dari tatanan
perhubungan.
Tanggung
Jawab Pengangkutan Menurut Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatblad
1939-100
Pasal pokok dari Ordonansi Pengangkutan Udara
mengenai tanggung jawab pengangkutan udara dalarn hal pengangkutan penumpang
adalah pasal 24 ayat (1) yang berbunyi : “Pengangkut bertanggung jawab untuk
kerugian sebagai akibat dari luka-luka atau jelas-jelas lain pada tubuh yang
diderita oleh penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada
hubungannya, dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat terbang atau
selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari
pesawat terbang”.
Dan pasal tersebut ternyata bahwa pengangkut
udara dianggap selalu bertanggung jawab, asal dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam pasal itu, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1. Adanya kecelakaan
yang terjadi,
2. Kecelakaan ini
harus ada hubungannya dengan pengangkutan udara,
3. Kecelakaan ini
harus terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan yang
berhubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang
Sedangkan menurut Undang-undang No. 15 tahun
1992 tentang penerbangan, pasal yang mengatur tentang tanggung jawab diatur
dalam pasal 43 ayat (1) yang berbunyi :
“Perusahaan angkutan udara yang melakukan
kegiatan angkutan bertanggung jawab atas
1. Kematian atau
lukanya penumpang yang diangkut.
2. Musnah, hilang
atau rusaknya barang yang diangkut.
3. Keterlambatan
angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut apabila terkait hal tersebut
merupakan kesalahan pengangkut
Prinsip-Prinsip
Tanggung Jawab Pengangkut Udara Terhadap Penumpang
Prinsip-prinsip tanggung jawab khususnya
untuk penumpang yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan dalam Konvensi
Warsawa dan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara adalah :
1. Prinsip Presumption of Liability
Bahwa seseorang pengangkut dianggap perlu
bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau
bagasi dan pengangkut udara tidak bertanggung jawab hanya bila la dapat
membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat menghindarkan kerugian itu.
2. Prinsip Limitation of Liability
Bahwa setiap pengangkut dianggap selalu
bertanggung jawab, namun bertanggung jawab itu terbatas sampai jumlah tertentu
sesuai dengan ketentuan yang telah Jiatur dalam Ordonansi Pengangkutan, Udara
maupun Konvensi Warsawa.
Dari dua prinsip pokok tersebut di atas ada
dua penyimpangan yaitu: Pengangkutan bertanggung jawab sampai jumlah yang
dituntut tadi tidak terikat pada batas maksimum yang ditentukan, apabila
- Ada kesalahan berat dari pengangkut
- Ada perubahan sengaja dari pengangkut untuk
menimbulkan kerugian
Pengangkutan bebas sama sekali dari tanggung
jawabnya. apabila Pengangkut telah mengambil semua tindakan yang diperlukan
untuk menghindarkan kerugian yang timbul. Pengangkut tidak mungkin mengambil
tindakan yang disebut diatas. Kerugian timbul karena kesalahan pada
pengemudian, handlingpesawat atau
navigasi dan semua tindakan yang perlu untuk mencegah timbulnya kerugian.
Bentuk-Bentuk Angkutan Udara Niaga
Dalam
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara,
dinyatakan angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat
udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau
lebih dari satu Bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar
udara. Dalam penyelanggraan angkutan udara dibedakan menjadi dua yaitu pertama,angkutan udara niaga dan kedua,angkutan udara bukan niaga.
Hubungan Hukum dan dokumen dalam Pengangkutan Udara
1. Konsep dan
Pengertian Perjanjian Pengangkutan
Dari
segi hukum, khusunya hukum perjanjian. Pengangkutan merupakan bentuk perjanjian
timbal balik antara pengangkut dengan pihak yang diangkut (penumpang dan/atau
pengirim) dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang dan/atau orang ke suatu tempat tujuan tertentu, dan pihak
penumpang dan/atau pengirim mengikatkan dirinya pula untuk membayar sejumlah
uang atau ongkos pengangkutan.
Perjanjian Pengangkutan Udara
Sebelum
dipaparkan mengenai perjanjian pengangkutan udara terlebih dahulu dijelaskan
mengenai hukum Pengangkutan Udara. Hukum pengangkutan udara adalah sekumpulan
aturan (kaidah, norma) yang mengatur masalah lalu lintas yang berkaitan dengan
pengangkutan penumpang dan barang dengan pesawat udara. Hukum pengangkutan
udara (AirTransportation) adalah
merupakan bagian daripada hukum penerbangan ( Aviation Law) dan hukum penerbangan merupakan bagian dari hukum
udara(air Law).
Hukum
udara adalah sekumpulan peraturan yang menguasai ruang udara serta
penggunaannya di lingkungan penerbangan. Sedangkan hukum penerbangan adalah
kumpulan peraturan yang secara khusus mengenai penerbangan, pesawat udara,
ruang udara dan peranannya sebagai unsur yang perlu bagi penerbangan. Dengan
demikian, hukum udara lebih luas cakupannya dari pada hukum penerbangan atau
hukum pengangkutan udara.
Perjanjian
pengangkutan udara adalah suatu perjanjian antara seorang pengangkut udara dan
pihak penumpang atau pihak pengirim udara, dengan imbalan bayaran atau suatu
prestasi lain. Dalam arti luas suatu perjanjian angkutan udara dapat merupakan
sebagian dari suau perjanjian pemberian jasa dengan pesawat udara.
Berdasarkan
rumusan perjanjian pengangkutan udara di atas maka dapat disimpulkan bahwa
dalam suatu perjanjian pengangkutan udara harus terdapat beberapa unsur
diantaranya adanya para pihak atau subjek hukum, adanya alat atau sarana
pengangkut, adanya prestasi yang harus dilaksanakan oleh pengangkut, kemudian
adanya kewajiban membayar ongkos atau biaya pengangkutan.
Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian
Pengangkutan Udara
Dalam
perjanjian pengangkutan terdapat hak dan kewajiban para pihak yang harus
dilaksanakan dengan baik. Hak dan kewajibana timbul karena adanya hubungan
hokum diantara para pihak. Berikut dipaparkan hak dan kewajiban pengangkut dan
penumpang pada transportasi udara.
a.
Hak Pengangkut
Secara umum hak pengangkut adalah menerima pembayaran ongkos
angkutan dari penumpang atau pengirim barang atas jasa angkutan yang telah
diberikan.
b.
Kewajiban Pengangkut
Secara umum kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan
pengangkutan barang atau penumpang beserta bagasinya dan menjaganya dengan
sebaik-baiknya hingga sampai di tempat tujuan.
Hak dan Kewajiban Penumpang Pada Angkutan Udara
Hak Penumpang
Seorang
penumpang dalam perjanjian angkutan udara tentunya mempunyai hak untuk diangkut
ke tempat tujuan dengan pesawat udara yang telah ditunjuk atau dimaksudkan
dalam perjanjian angkutan udara yang bersangkutan63. Di samping itu juga penumpang atau ahli warisnya berhak untuk
menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya sebagai akibat adanya kecelakaan
penerbangan atas pesawat udara yang bersangkutan. Selain itu hak-hak penumpang
lainnya adalah menerima dokumen yang menyatakannya sebagai penumpang,
mendapatkan pelayanan yang baik, memperoleh keamanan dan keselamatan selama
dalam proses pengangkutan dan lain-lain.
Kewajiban
Penumpang
Sebagai
salah satu pihak dalam perjanjian angkutan udara maka penumpang memiliki
kewajiban-kewajiban sebagai berikut:
a) Membayar uang
angkutan, kecuali ditentukan sebalinya
b) Mengindahkan
petunjuk-petunjuk dari pengangkut udara atau dari pegawai-pegawainya yang
berwenang untuk itu
c) Menunjukan
tiketnya kepada pegawai-pegawai pengakut udara setiap saat apabila diminta
d) Tunduk kepada
peraturan-peraturan pengangkut udara mengenai syarat-syarat umum perjanjian
angkutan muatan udara yang disetujuinya
e) Memberitahukan
kepada pengangkut udara tentang barang-barang berbahaya atau barang-barang
terlarang yang dibawa naik sebagai bagasi tercatat atau sebagai bagasi tangan,
termasuk pula barang-barang terlarang yang ada pada dirinya.
Sengketa dan Penyelesaian Sengketa dalam Kegiatan
Pengangkutan
Sengketa
dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan dimana adanya ketidakserasian antara
pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak
salah satu pihak terganggu atau dilanggar. Dalam perspektif hukum, sengketa
dapat berawal dari adanya suatu wanprestasi dari salah satu pihak yang terlibat
dalam suatu hubungan hukum.
Lahirnya
suatu tanggung jawab hukum berawal dari adanya perikatan yang melahirkan hak
dan kewajiban. Menurut ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata hak dan kewajiban
(perikatan) bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang
bersumber dari undang-undang terbagi lagi menjadi perbuatan menurut hukum dan
perbuatan melawan hukum, sedangkan timbulnya perikatan yang lahir karena
perjanjian membebankan kepada para pihak yang melakukan perjanjian untuk
melaksanakan hak dan kewajiban atau yang dikenal dengan ”prestasi”, apabila
salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi maka dapat dikatakan telah
melakukan wanprestasi.
Penyelesaian
sengketa dapat saja dilakukan oleh kedua belah pihak secara kooperatif, dibantu
oleh orang lain atau pihak ketiga yang bersifat netral atau dengan cara
lainnya. Pada intinya penyelesaian konflik antara pihak-pihak yang bersengketa
terdapat dua cara yaitu litigasi dan non litigasi. Litigasi merupakan cara
penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan, sedangkan non litigasi melalui
jalur di luar pengadilan seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Setiap
sengketa dalam hubungan hukum pada umumnya diselesaikan setidak-tidaknya
melalui dua cara penyelesaian, yaitu :
1.
penyelesaian secara damai,
2.
penyelesaian melalui lembaga atau institusi yang berwenang.
Dokumen Pengangkutan Udara
Dokumen
pengangkutan udara terdiri dari tiket penumpang (passenger ticket), tiket bagasi (baggage ticket), surat muatan udara (air way bill).Tiket penumpang merupakan alat bukti adanya perjanjian
antara penumpang dengan perusahaan penerbangan. Namun demikian, bilamana tiket
hilang atau rusak bukan berarti tidak ada perjanjian pengangkutan, karena alat
bukti tersebut dapat dibuktikan dengan alat bukti lainnya misal bukti
penerimaan uang oleh perusahaan penerbangan dari penumpang .
Pengaturan tentang
Pengangkutan Udara
Ø Dasar Hukum
Penerbangan Nasional Indonesia
1. Peraturan
a) UU No. 5 Tahun
1985, sudah tidak berlaku sejak ada UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan,
namun kemungkinan Ppnya amsih berlaku sepanjang tidak bertentangan (katanya).
b) OPU sudah tidak
berlaku setelah UU No. 15 Tahun 1992.
c) Luchtverkeersverordening,
Stb. 1936 No. 425 yang mengatur tentang lalu lintas undara, seperti
penerbangan, tanda-tanda isyarat yang harus dipergunakan di dalam penrbangan.
d) Verordening
Toesicht Luchtvaart, Stb. 1936 No. 426 yang mengatur pengawasan atas
penerbangan, mengatur personil, syarat-syarat jasmani rokhani, pemeriksaan
sebab-sebab kecelakaan dan lain-lain.
e) Luchtvaartquorantieue ordonantie, Stb. 1939
No. 149 Jo. Stb. 1939 No. 50yang mengatur pencegahan penyakit menular bagi
penumpang.
2. Perjanjian
Internasional
a) Perjanjian
Warsawa 12 Oktober 1929 dengan Stb. 1939 No. 344 yang membahas tentang
pengangkutan udara internasional.
b) Perjanjian Roma
29 Mei 1933, mengatur tentang tanggung jawab udara mengenai kerusakan atau
kerugian yang dialami pihak ke-3 di muka bumi. Perjanjian ini telah
diperbaharui pada tahun 1952.
3. Ilmu Pengetahuan.
Ø UU No. 15 Tahun 1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar