“ASPEK
YURIDIS PEMILIHAN ANGGOTA BADAN PERWAKILAN DESA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMERINTAHAN DESA DI KABUPATEN KLATEN”
A. Latar Belakang
Masalah
Perubahan ketatanegaraan di negara
Republik Indonesia antara lain ditandai dengan keinginan untuk melakukan
pembatasan kekuasaan, baik kekuasaan pemerintah pusat maupun kekuasaan
pemerintah desa. Penulisan hukum ini akan difokuskan kepada sebuah lembaga perwakilan
rakyat desa yang baru, yaitu BPD. Studi tentang BPD masih sangat langka
mengingat BPD sebagai lembaga yang baru sehingga belum banyak penelitian
mengenal lembaga tersebut.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah merupakan pengganti dari Undang-undang Nomor 5
tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-undang Nomor
5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Landasan pemikiran dalam pengaturan
pemerintahan desa menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah keanekaragaman,
partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat. Dalam era
reformasi setiap peraturan perundang-undangan hendaknya senantiasa dijiwai dan
disemangati nilai-nilai demokrasi dan akomodasi terhadap keanekaragaman yang
ada dalam masyarakat di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan di daerah
selama berlakunya dirasakan tidak mampu untuk menampung dinamika perkembangan
masyarakat dan tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan otonomi daerah yang
demokratis. Selain itu kedua undang?undang tersebut tidak mampu mengakomodasi
keanekaragaman struktur dan kultur yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Berdasarkan produk-produk hukum di
atas terdapat perbedaan mendasar dalam hal struktur pemerintahan. di desa.
Dalam Undang?undang Nomor 22 Tahun 1999 ditandai oleh skema yang lebih otonom
antara lain desa tidak lagi menjadi bawahan langsung kecamatan, struktur
pemerintahan desa terdiri dari pemerintah desa yakni kepala desa beserta
perangkatnya dan Badan Perwakilan Desa yang merupakan parlemen tingkat desa,
dan adanya pemisahan fungsi legislatif dan eksekutif.
Badan Perwakilan Desa (BPD)
merupakan salah satu unsur penyelenggara pemerintahan desa di samping
pemerintah desa. BPD dan pemerintah desa mempunyai kedudukan yang sejajar.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan desa harus ada pembagian tugas yang jelas
antara BPD dengan pemerintah desa, pemerintah desa sebagai lembaga eksekutif
sedangkan BPD berkedudukan sebagai lembaga legislatif.
BPD sebagai
lembaga perwakilan rakyat di desa merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi
berdasarkan Pancasila. Sebagai badan legislatif desa, keanggotaan BPD harus
senantiasa representatifsehingga setiap
kebijakan yang diambil dapat mencerminkan aspirasi rakyat.
Keberadaan BPD merupakan salah satu
bagian yang sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintahan desa, jika. dihubungkan
dengan kehendak untuk menegakkan demokrasi, otonomi dan kedaulatan rakyat desa.
BPD merupakan wakil masyarakat desa yang diharapkan menjadi sarana guna
melaksanakan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa.
Dalam Pasal 94 Undang-undang Nomor
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditentukan: “Di Desa dibentuk
Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa”.
Hal ini berbeda dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 3 ayat (1)
Undang?undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. yang menyatakan
bahwa Pemerintahan Desa terdiri dari:
1.
Kepala Desa
2.
Lembaga
Musyawarah Desa.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979
menegaskan bahwa Lembaga Musyawarah Desa (LMD) merupakan kesatuan yang tidak
terpisahkan dari pemerintahan desa. Hal ini dimaksudkan agar pemerintahan, desa
mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan serta menyelenggarakan administrasi desa yang makin meluas dan
efektif.
Namun dalam kenyataannya kesatuan
antara LMD dan kepala desa tersebut dinilai melemahkan fungsi LMD, terutama
dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintahan desa. Hal int
disebabkan karena kepala desa dan sekretaris desa, karena jabatannya menjadi
ketua dan sekretaris LMD. Dalam ketentuan Undang?undang Nomor 22 Tahun 1999,
ditegaskan bahwa BPD kedudukannya sejajar dan menjadi mitra pemerintah desa
dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Gagasan
otonomi daerah yang semerbak sejak runtuhnya rezim orde baru harus sampai pada
tingkat masyarakat yang paling bawah yaitu masyarakat desa. Otonomi Desa
sebagai kawasan lokal semestinya juga mendapat jaminan dari tersebut. Otonomi
desa merupakan sebuah harapan untuk desa di masa depan, gagasan ini merupakan bentuk
koreksi dan rancangan masa depan dan mencakup dua dimensi penting yaitu
pengakuan dan pemulihan atas apa yang telah dirusak sepanjang kekuasaan orde
baru.[1]
Permasalahan
mengenai otonomi dan demokratisasi sangat erat dengan kebijaksanaan politik
negara sehingga pelaksanaannya masih didasarkan pada kepentingan negara yang
mengikutinya. Pada saat pergantian sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
khususnya mengenai otonomi daerah banyak yang mengkritisi sistem otonomi daerah
dan karena hal tersebut kembali kepada kepentingan penguasa/pemerintah pusat.
Mengenai hal ini Laksono berpendapat bahwa UU No.5 Tahun 1979 memiliki
rasionalitas sendiri, UU tersebut tidak bisa lepas dari konteksnya karena UU
tersebut sangat kontekstual pada zamannya (Balairung, Edisl 33/TH. XVI/2001,
hlm 34).[2]
Undang-undang
tersebut berusaha untuk mengadakan penyeragaman terhadap desa?desa yang ada di
wilayah Republik Indonesia padahal masing-masing desa, memiliki ciri khas
tersendiri yang mungkin sangat berbeda dengan desa lain. Sjafri Sairin
mengatakan bahwa UU No. 5 Tahun 1979 telah menjadi aparatus terciptanya
keseragaman bahkan sampai unit terkecil darl birokrasi desa dan telah
memporak?porandakan struktur desa yang asli karena struktur lokal dihilangkan,
padahal masyarakat memiliki sistemnya sendiri-sendiri.[3] Sedangkan pengertian dari
kata aparatus menurut kamus besar Bahasa Indonesia bermakna sebagai alat.
Dengan demikian, hak otonom desa
sebagal suatu kesatuan budaya yang kompleks dimatikan secara politis.
Heterogenitas dimatikan dengan cara penyeragaman bentuk, susunan, tugas serta
cara kerja desa. Hal ini masih ditambah dengan besarnya peran dari partai
pemerintah lewat birokrasinya dan upaya pemandulan lembaga?lembaga perwakilan
desa serta sistem pemerintahan yang sentralistik.
Pendapat
yang hampir sama dilontarkan oleh Selo Sumarjan yang menyatakan bahwa UU No. 5
Tahun 1979 menghilangkan keseragaman Pemerintah Desa, seragam dalam hal bentuk,
susunan dan cara kerja dan dalam hal ini pemerintah telah menyalah artikan kata
kesatuan yang dipungut dari kata “Tunggal” dalam Bhineka Tunggal Ika sebagai
uniformity (penyeragaman) bukan unity (persatuan).[4]
Selo Sumarjan menambahkan bahwa:
UU No. 5 Tahun 1979 telah
menganeksasi desa dan menjadikannya tidak otonom dan menganggap bahwa desa
hanya merupakan seonggok kawasan lokal yang mengalami pembekuan partisipasi.
Beliau mengutip falsafah Jawa, Manunggaling Kawula Gusti Kawula dalam. hal ini
adalah masyarakat, sementara Gusti adalah pemerintah desa yang berkuasa. Darl
sirulah dapat ditegaskan irrelevansi UU No. 5 Tahun 1979 dengan realitas
masyarakat.[5]
Dalam suatu
penelitian yang dilakukan oleh Lapera (Lembaga Pemberdayaan Rakyat) dapat
disimpulkan bahwa skema yang dilembagakan pemerintah tidak memberi kesempatan
desa untuk berdialog. Pada prakteknya, proses peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat desa menjadi berlangsung searah.[6]
Hadirnya UU No. 22 Tahun 1999
membawa angin segar bagi masyarakat khususnya masyarakat desa karena memberi
kesempatan bagi hadimya partisipasi masyarakat desa dalam menata
pemerintahannya sendiri. Hal ini berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1979 yang
menekankan pada filosofi keseragaman, sementara UU No. 22 Tahun 1999 lebih
menekankan pada filosofi keanekaragaman dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dalam satu penelitian yang dilakukan oleh Lapera dapat
disimpulkan bahwa ada 2 (dua) hal yang menjadi penghambat demokratisasi dan
otonomi desa yaitu:
Pertama, yaitu karakter sentralisasi. Skema
ini dimanifestasikan dengan rumusan jabatan Kepala Desa sebagai, “penguasa
tunggal, kendati terdapat unsur lain di luar pemerintah desa seperti LMD
(Lembaga Musyawarah Desa, Pasal 3), akan tetapi keberadaan lembaga ini hanya
menjadi formalitas belaka, sebab dalam politik ril, keberadaan lembaga ini
sangat tergantung figur Kepala Desa Sesuai dengan Pasal 17 ayat (2) dan (3)
yang menyebutkan bahwa Kepala Desa dan Sekretarls Desa karena jabatannya
menjadi, Ketua dan Sekretaris LMD. Tujuan dibentuk lembaga int untuk melayani
dinamika kepentingan “atas” daripada menjadi sarana aspirasi masyarakat
setempat.
Kedua, yaitu skema atas?bawah (top down). Skema ini menunjukkan bahwa pusat kekuasaan
dan menempatkan diri bukan saja menjadi pusat pengambil keputusan, melainkan
juga memposisikan diri sebagai pusat gagasan?gagasan, aspirasi, bahkan
nilai?nilai, dan desa hanya sebagai pelaksana semata tidak lebih dari itu. Dan
dalam menjalankan hak, kewajiban dan kewenangannya pemerintah desa bertanggungy
jawab kepada pejabat yang berkenan mengangkat melalul Camat, dan memberikan
pertanggung jawaban kepada LMD (Pasal 10). Hal ini membuktikan bahwa pengikut
utama pemerintah desa adalah “atasan”bukan rakyat yang dipimpinnya.[7]
Seperti halnya pemerintahan kabupaten yang, dijabat
oleh bupati dan DPRD, maka pemerintahan desa terdiri dan pemerintah desa dan
BPD. Kehadiran BPD selaras dengan tuntutan masyarakat yang menghendaki
adanya kontrol terhadap jalannya pemerintahan desa karena kehadiran LMD dirasa
belum mewakili aspirasl masyarakat desa.
Tugas utama BPD diharapkan bisa
mengakomodasikan kepentingan masyarakat desa karena keanggotaan BPD dipilih
langsung oleh masyarakat desa dan pimpinannya dipilih oleh anggota BPD itu
sendiri (Pasal 105 UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.). Fungsi
pengawasan BPD meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan keputusan desa. Selain itu dalam UU
No. 22 Tahun 1999 nuansa demokrasi lebih terasa khususnya pertanggungjawaban
kepala desa karena kepala desa memberikan pertanggungjawaban kepada BPD.
Untuk menjaga keterwakilan anggota
BPD sebagai lembaga perwakilan rakyat agar sesuai dengan keadaan rakyat yang
sesungguhnya maka diperlukan pemilihan secara periodik, hal ini mengingat sifat
dinamika masyarakat yang selalu mengalami perubahan dan masa ke masa. Tujuan
diadakannya pemilihan yaitu untuk memilih wakil?wakil rakyat yang duduk dalam
lembaga legislatif BPD sebagai lembaga legislatif diharapkan harus
representatif sehingga tiap kebijakan yang diambil dapat mencerminkan aspirasi
dan kemauan rakyat.
Mekanisme pengisian keanggotan BPD
sebagai parlemen desa dilaksanakan melalui proses pemilihan. Anggota BPD
dipilih langsung oleh warga masyarakat desa yang bersangkutan. Anggota BPD
harus memenuhi syarat?syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang?undangan
yang berlaku, demikian juga mengenai pemilihan, pengesahan, serta
pemberhentiannya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan alasan
tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk menulis penulisan hukum dengan
Judul: ASPEK YURIDIS PEMILIHAN ANGGOTA BADAN PERWAKILAN DESA DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMERINTAHAN DESA DI KABUPATEN KLATEN.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat diuraikan masalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana aspek
yuridis pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) di Kabupaten Klaten?
2.
Apakah ada
faktor?faktor penghambat pelaksanaan pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa
(BPD) pada beberapa desa di lingkungan Kabupaten Klaten?
3.
Bagaimanakah
implikasi pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) terhadap pemerintahan
desa di Kabupaten Klaten?
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk
mengetahui aspek yuridis pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) di
Kabupaten Klaten.
2.
Untuk
mengetahui faktor?faktor penghambat pelaksanaan pemilihan anggota Badan
Perwakilan Desa (BPD) pada beberapa desa di lingkungan Kabupaten Klaten.
3.
Untuk
mengetahui implikasi pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD)
terhadap pemerintahan desa di Kabupaten Klaten.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut :
1.
Manfaat
Teoritis
1.
Memberikan
sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum di Indonesia pada umumnya
dan hukum tata negara pada khususnya.
2.
Memberikan
kontribusi terhadap peneliti lain yang melakukan penelitian hukum tata negara.
2.
Manfaat
Praktis
1.
Memberikan
masukan tentang implikasi pemilihan anggota BPD terhadap pemerintahan desa.
2.
Memberikan
bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan pemilihan anggota BPD dan
pemerintahan desa.
E. Studi
Pustaka
Perubahan sistem kenegaraan dari
masa orde baru ke era reformasi membawa perubahan ke arah yang lebih baik dalam
hal pendidikan politik dan demokratisasi bagi masyarakat desa. Salah satunya
adalah adanya tuntutan warga masyarakat desa akan terwakilinya aspirasi
masyarakat dalain struktur pemerintahan desa. Hal ini ditandai dalam UU No. 22
tahun 1999 yang mengakui adanya lembaga perwakilan masyarakat desa yang disebut
dengan Badan Perwakilan Desa (BPD) dan masih dimungkinkan adanya lembaga lain
yang diakui yang ditetapkan dengan Peraturan Desa.
Dalam teori kedaulatan rakyat yaitu
sistem dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, hal ini menunjukkan bahwa
rakyat memegang peranan penting dalam setiap kebijakan yang akan dikeluarkan
oleh aparat pemerintah. Rakyat dalam hal ini menjadi subyek bukan menjadi objek
semata yang hanya patuh dan pasrah terhadap pemegang pemerintahan, Dalam hal
ini kedaulatan rakyat adalah kekuasaan yang berasal dari rakyat sehingga dalam
pelaksanaan tugasnya pemerintah harus berpihak pada keinginan rakyat.
Dalam pelaksanaan ketatanegaraan baik dan pemerintahan
suatu negara sampai pada pemerintahan terendah yaitu pemerintahan desa terdapat
2 (dua) unsur subjek yang harus ada yaitu unsur aparatur pemerintahan dan unsur
rakyat. Kedua unsur ini mutlak harus ada karena tidak mungkin pemerintah tanpa
rakyat dan rakyat tanpa pemerintah.
Ditinjau
dari sistem pelaksanaan demokrasi dibedakan sistem demokrasi langsung dan
sistem demokrasi tidak langsung.[8] Sistem demokrasi Indonesia
langsung dan sistem demokrasi tidak langsung (indirect democracy) atau
yang biasa disebut dengan sistem perwakilan. Demokrasi perwakilan adalah suatu
bentuk demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dilaksanakan oleh
rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga perwakilan rakyat.[9] Adanya BPD merupakan
langkah yang sangat tepat demi tersalurriya dan terwakilinya rakyat desa dalam
penyelenggaraan pemerintahan di desa.
Hal tersebut berarti bahwa demokrasi
perwakilan atau demokrasi tidak langsung adalah suatu sistem politik dengan
memberikan hak kepada rakyatnya secara tidak langsung atau melalui wakilnya
untuk ikut serta melaksanakan kegiatan ketatanegaraan dalam bidang politik.
Kedaulatan rakyat negara Republik Indonesia dilaksanakan melalut wakil?wakil
rakyat yang telah dipilih dan mereka bertanggung jawab kepada rakyat melalui
proses pemilihan umum yang bebas.[10]
Sistem demokrasi perwakilan mengakui
adanya representative government yaitu suatu pemerintahan yang berdasarkan
suatu perwakilan, sehingga pemerintahan tersebut seharusnya mengayomi,
melindungi, dan mementingkan aspirasi dan kepentingan rakyat yang dipimpinnya
serta bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya terhadap, pelaksanaan
kinerja pemerintahan yang dilaksanakan melalui wakil?wakil rakyat. Hal ini
berlaku dan tingkat pusat hingga tingkat desa, sebab di desa pemerintah
desajuga bertanggung jawab kepada BPD sebagai wakil masyarakat desa yang ada di
tingkat desa.
Selanjutnya dalam Peraturan Daerah Kabupaten Klaten
Nomor 1 Tahun 2001, disebutkan bahwa BPD merupakan wahana untuk melaksanakan
demokrasi berdasarkan Pancasila dan BPD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra
dan pemerintah desa. Sedangkan fungsi dan BPD yaitu :
1.
Mengayomi
yaitu menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di desa yang
bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan.
2.
Legislasi
yaitu merumuskan dan menetapkan peraturan desa, bersama?sama dengan pemerintah
desa.
3.
Pengawasan
yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa, serta Keputusan Kepala Desa.
4.
Menampung
aspirasi masyarakat yaitu menangani dan menyalurkan aspirasi yang diterima dan
masyarakat kepada, pejabat atau instansi yang berwenang (Pasal 36 ayat (4)
Peraturan Daerah Kabupaten Klaten No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Perwakilan
Desa.
Jika dihubungkan dengan prinsip
perwakilan maka prinsip dasar dari sistem perwakilan BPD adalah:[11]
1.
Anggota BPD
bukanah jabatan fungsional, melainkan Jabatan politis, karena itu persyaratan
paling utama sebagai BPD adalah betul?betul dipercaya oleh pemilihnya.
2.
Anggota BPD
harus jelas mewakili kepentingan siapa. Prinsip ini dapat dijadikan sebagai
pegangan agar dalam pelaksanaan teknisnya memiliki dasar arahan.
Dalam suatu peneitian dari Lembaga Pemberdayaan Rakyat
(Lapera) di beberapa desa, ada berbagai respon dan pemerintah desa maupun dari
masyarakat desa terhadap pembentukan BPD. Pandangan tersebut adalah :
Pertama menganggap sangat membutuhkan
(berkepentingan). Hat ini disebabkan karena tekanan pemerintah di atasnya dan
khususnya demi kelancaran APBDes.
Kedua yaitu bersikap pasif dan
menempatkan BPD sebagai beban baru yang harus dipikul, dan ini justru
menimbulkan kekhawatiran: (a) BPD akan menjadi “musuh dalam selimut” bagi
Kepala Desa dan perangkatnya, (b) mengurangi jatah pendapatan pemerintah desa,
karena akan dibagi dengan BPD, (c) penyelenggaraan pemilihan anggota BPD
dianggap cukup merepotkan, karena mensyaratkan partisipasi masyarakat (d) tidak
cukup banyak orang atau institusi yang secara terbuka menginginkan dirmya
dikontrol dan dibatasi kewenangannya, apalagi mereka dikontrol dan wajib
bertanggung jawab kepada sebuah institusi baru yang dibentuk dan tidak
berpengalaman.[12]
Perbedaan
mendasar antara UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dengan UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah khususnya mengenai pemerintahan desa
adalah:[13]
1.
Proses
pembentukan.
2.
Skema kerja
parlemen desa.
Keberadaan BPD merupakan usaha yang
cukup positif dalam hal demokratisasi masyarakat desa sebab anggota BPD dipilih
langsung oleh warga masyarakat desa yang bersangkutan. Anggota BPD harus
memenuhi syarat?syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang? undangan yang
berlaku, demikian juga mengenai pemilihan, pengesahan, serta pemberhentiannya
harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 3 sampai Pasal 15 Peraturan Daerah
Kabupaten Klaten Nomor 2 Tahun 2001 tentang Badan Perwakilan Desa disebutkan
bahwa mekanisme pemilihan anggota BPD meliputi :
1.
Pembentukan
panitia pemilihan
2.
Pengumuman
dan pendaftaran bakal calon
3.
Penyaringan
bakal calon
4.
Penetapan
calon yang berhak diplilh
5.
Pelaksanaan
kampanye
6.
Pendaftaran
pemilih
7.
Pelaksanaan
pemungutan suara.
8.
Pelaksanaan
penghitungan suara.
Berdasarkan
Pasal 12 Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 2 Tahun 2001 yang dapat
dipilih menjadi anggota BPD adalah penduduk warga negara RI dengan
syarat?syarat :
1.
Terdaftar
sebagai penduduk desa dan bertempat tinggal di Desa yang bersangkutan
sekurang?kurangnya 2 (dua) tahun terakhir dengan tidak terputus?putus.
2.
Bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3.
berpendidikan
serendah-rendahnya SLTP;
4.
tidak
terlibat dorganisasi terlarang G.30. S/PKI atau organisasi terlarang lainnya
5.
Setia dan
taat kepada Pancasila dan Undang?undang Dasar 1945,
6.
Sehat
jasmani dan rohani;
7.
Berkelakuan
baik, jujur, dan adil,
8.
Berumur
sekurang?kurangnya 23 tahun;
9.
Tidak
dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Untuk keberhasilan pemilihan anggota BPD tersebut
sangat tergantung pada peraturan yang berlaku serta para pihak yang
melaksanakan pemilihan anggota BPD (parlemen desa) baik dari panitia pemilihan,
bakal calon anggota BPD, warga masyarakat serta instansi pemerintah di atasnya
dalam membantu pelaksanaan pemilihan anggota BPD.
F. Metode
Penelitian Tesis
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum ini termasuk dalam
penelitian hukum empiris, dengan bentuk penelitian evaluatif yang bertujuan
untuk menilai pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan dan dilakukan
dengan mengadakan penelitian kepustakaan serta penelitian lapangan.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini direncanakan akan
dilaksanakan di daerah Kabupaten Klaten.
3. Sumber / Jenis Data
a. Data Primer
Data yang diperoleh dari hasil
penelitian lapangan dengan cara mengajukan pertanyaan secara lisan (wawancara)
maupun dengan mengajukan pertanyaan secara tertulis.
b. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari penelitian bahan pustaka
dengan cara mengumpulkan data yang terdapat dalam peraturan perundangan,
buku-buku, dan artikel yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti,
antara lain:
1) Bahan hukum primer, meliputi :
·
UUD 1945;
·
UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
·
Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 63 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan
Penyesuaian Peristilahan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Kelurahan.
·
Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan
Mengenai Desa;
·
Peraturan
Daerah Kabupaten Klaten Nomor 1 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Pemerintahan Desa;
·
Peraturan
Daerah Kabupaten Klaten Nomor 2 Tahun 2001 tentang Badan Perwakilan Desa;
·
Peraturan
Daerah Kabupaten Klaten Nomor 3 Tahun 2001 tentang Peraturan Desa;
·
Peraturan
Daerah Kabupaten Klaten Nomor 4 Tahun 2001 tentang Sumber Pendapatan dan
Kekayaan Desa serta Pengelolaannya.
·
Peraturan
Daerah Kabupaten Klaten Nomor 6 Tahun 2001 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa;
·
Peraturan
Daerah Kabupaten Klaten Nomor 7 Tahun 2001 tentang Penghasilan Kepala Desa dan
Pamong Desa,
·
Peraturan
Daerah Kabupaten Klaten Nomor 8 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pemilihan,
Pelantikan dan Pemberhentian kepala desa.
2) Bahan?bahan sekunder, yaitu bahan yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terdiri dan buku?buku;
jurnal, makalah, tulisan yang terkait.
3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder; terdiri dari kamus hukum, kamus besar Bahasa Indonesia, jurnal,
surat kabar dan lain sebagainya.
4. Tehnik Pengumpulan Data
·
Data primer
diperoleh dengan cara :
1) Wawancara tak berstruktur atau
wawancara mendalam (in-depth interviewing) yaitu, cara
untuk memperoleh data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan yang jawabannya
diserahkan kepada responden. Wawancara tak berstruktur sering juga disebut
sebagai tehnik wawancara mendalam, karena peneliti merasa tidak tahu apa yang
belum diketahuinya. Dengan demikian wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang
bersifat open-ended, dan mengarah pada kedalaman informasi,
serta dilakukan dengan cara yang tidak secara formal berstruktur guna menggali
pandangan subjek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat bermanfaat untuk
menjadi dasar bagi penggalian informasinya secara lebih jauh dan mendalam. Oleh
karena itu dalam hal ini subjek yang diteliti posisinya lebih berperan sebagai
informan daripada sebagai responden.[14]
2) Pedoman wawancara yaitu cara untuk mendukung
wawancara yang dilakukan agar tetap terfokus pada subjek yang diteliti dengan
mengajukan pertanyaan tertulis secara terbuka (tidak ada jawaban pilihan).
·
Data
sekunder diperoleh dengan studi dokumen atau kepustakaan yaitu cara untuk
memperoleh data dengan mempelajari dan menganalisa bahan pustaka yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian.
5. Analisis Data
Tehnik analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif, adapun yang dimaksud dengan analisa
kualitatif adalah : Suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif analisa, yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis atau
lisan dan juga perilaku nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang
utuh.[15]
Sedangkan analisis kualitatif yang digunakan model
interaktif, yaitu komponen reduksi data, sajian data dilakukan bersama dengan
pengumpulan data, dan setelah data terkumpul, maka tiga komponen tersebut
berinteraksi, apabila kesimpulan dilaksanakan kurang kuat, maka perlu ada
verifikasi dan peneliti kembali mengumpulkan data di lapangan.
SISTEMATIKA PENULISAN TESIS
HALAMAN JUDUL
HALAMAN NOTA PEMBIMBING
HALAMAN PERSETUJUAN
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
HALAMAN MOTTO
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A.. Latar Belakang Masalah
B.. Rumusan Masalah
1.
Tujuan
Penelitian
2.
Manfaat
Penelitian
3.
Studi
Pustaka
4.
Metode
Penelitian
5.
Sistematika
Penulisan Tesis
BAB II
DEMOKRASI DAN PENYELENGGARAAN
NEGARA HUKUM
1.
Pengertian
Demokrasi
2.
Syarat-Syarat
Demokrasi
3.
Demokrasi
dan Perkembangannya
4.
Demokrasi
dan Penyelenggaraan Negara Hukum
5.
Demokrasi
Modern di Indonesia
BAB III
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA
1.
Pemerintahan
desa
2.
Pelaksanaan
pemilihan BPD
3.
Hubungan
antara pemilihan BPD terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa
BAB IV HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.
Aspek
yuridis pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) di Kabupaten Klaten
2.
Faktor?faktor
penghambat pelaksanaan pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) pada
beberapa desa di lingkungan Kabupaten Klaten
3.
Implikasi
pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) terhadap pemerintahan desa di
Kabupaten Klaten
BAB
V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
_________, 1982, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia, Ctk. Keenam, Jakarta
_________, 1987, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Bani, Jakarta
_________, 1993, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Ctk. Pertama, Yogyakarta
_________, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia; Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Liberty, Ctk. Pertama, Yogyakarta
_________, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Ctk. Pertama, Yogyakarta
_________, 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Kedua, Rineka Cipta, Jakarta
_________, 2001, Politik Pemberdayaan, Jalan Mewujudkan Otonomi Desa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta
_________, 2002, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Ctk. Ketiga, Yogyakarta
_________, Demokrasi Kita, tnp penerbit, tnp tmpt dan tahun
_________, t. tahun, Pengantar Perkembangan Antar Hukum Tata Negara, Cetakan 2, CV. Rajawali, Jakarta
Afan Gaffar, 2000, Otonomi Daerah dan Good Governance, Makalah Seminar Fisipol UGM, Yogyakarta
Amin, 1981, Demokrasi Selayang Pandang, Pradnya Paramita, Jakarta
Arief Budiman, 1991, Negara dan Pembangunan; Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan, Ctk. Pertama, Yayasan Padi dan Kapas, Tnp nama Kota
Bernhard Dahm, 1987, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, LP3ES, Ctk. Pertama, Jakarta
Bintan R. Saragih, 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Ctk. Pertama, Jakarta
Dahlan Thaib, 1994, Pancasila Yuridis Ketatanegaraan, AMP YKPN, Ctk. Pertama, Yogyakarta
Darji Darmo Diharjo dan Nyoman Dekker, 1979, Pokok-pokok Demokrasi Pancasila, Lembaga Penerbit, Universitas Brawijaya, Malang
H. AS. Hikam, Konsolidasi Demokrasi dan Pemberdayaan Masyarakat Sipil, Media Indonesia, 12 September 2001
H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2002.
Ismail Suny, 1965, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Calindra, Ctk Kedua, Jakarta
Lapera, 2000, Otonomi Pemberian Negara, cetakan kedua, Lapera Pustaka Utamia, Yogyakarta
M. Dawan Raharjo, 2000, “Sejarah Agama dan Masyarakat Madani”, dalam Buku Kumpulan Tulisan, Membongkar Mitos Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Ctk. Pertama, Yogyakarta
M. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstribusi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta
M.C. Ricklefs, 1998, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Ctk, Keenam, Yogyakarta
Marsilan Simanjuntak, 1994, Pandangan Negara Integralistik; Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, Grafiti, Ctk. Pertama, Jakarta
MH. Nurul Huda, Tantangan Civil Society; Dominasi Negara dan Kapitalisme Global, Kompas, 16 Juli 2002
Miftah Thoha, 2000, Peran Ilmu Administrasi Publik Dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, Makalah Pembentukan Program Magister Administrasi Publik UGM, Yogyakarta
Miriam Budiardjo, 1989, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Ctk. Kedua belas, Jakarta
Moh. Hatta, 1954, Kumpulan Karangan III, Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, Jakarta-Amsterdam-Surabaya
Muh. Yamin, 1959, Naskah persiapan UUD 1945, Djilid pertama, Yayasan Prapantja, Jakarta
Muhadjir Darwin, 2000, Demokratisasi dan Good Governance, Makalah Seminar Pusat Penelitian Kependudukan, UGM, Yogyakarta
Mustari Pide, 2000, “Partisipasi Masyarakat Sipil Dalam Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999”, artikel pada Jurnal Hukum, Edisi No. 14 Vol. 7
Pratikno, 2000, Good Governance dan Implementasi OTODA, Makalah Seminar Politik Lokal, UGM, Yogyakarta
Purwo Santoso (ed), 2003, Perubahan Desa Secara Partisipatif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Ramadhan Naning, 1983, Gatra Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta
Robert Adahl, 1992, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Soekarno, 1983, Indonesia Menggugat, Yayasan Pendidikan Soekarno-Inti Idayu Pers, Jakarta
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.
Sri Soemantri, 1993, Tentang Lembaga?lembaga Tinggi Negara menurut UUD 1945, Citra Aditya Bhakti, Bandung
Suhartono (ed), 2001, Politik Lokal Parlemen Desa Awal Kemerdekaan sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta
Syamsudin Haris, 1995, Demokrasi di Indonesia; Gagasan dan Pengalaman, LP3ES, Ctk. Pertama, Jakarta
Taschereau, Suzanne dan Jose Edgardo L. Campos, 1997, Building Governance Citizen-Business Partnerships, Institute of Governance, Ottawa, Canada
Taupan M., 1989, Demokrasi Pancasila Analisa Konsepsional Aplikatif, Penerbit Sinar Grafika
Teten Masduki, 2000, Reformasi Good Governance, Makalah Seminar Magister Administrasi Publik, UGM, Yogyakarta
Toto Pandoyo, 1984, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945, Proklamasi dan Kekuasaan MPR, Liberty, Yogyakarta
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 63 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Penyesuaian Peristilahan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Kelurahan.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.
Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 1 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.
Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 2 Tahun 2001 tentang Badan Perwakilan Desa.
Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 3 Tahun 2001 tentang Peraturan Desa.
Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 4 Tahun 2001 tentang Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa serta Pengelolaannya.
Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 6 Tahun 2001 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 7 Tahun 2001 tentang Penghasilan Kepala Desa dan Pamong Desa.
Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 8 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian kepala desa.
Majalah Balairung, Edisi 33/TH. XVI/2001.
[1] Lapera, Politik Pemberdayaan, Jalan Mewujudkan Otonomi Desa, Lapera
Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hal. VII.
[2] Balairung,
Edisi 33/TH. XVI/2000, hlm 34.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Lapera, Op.Cit, hal. 15.
[7] Lapera, Op.Cit, hal. 94.
[8] Toto
Pandoyo, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945, Proklamasi dan Kekuasaan MPR, Liberty, Yogyakarta,
1984, hal. 85.
[9] Sri
Soemantri, Tentang Lembaga?lembaga Tinggi Negara menurut
UUD 1945, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, hal. 27.
[10] Ismail
Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Bani, Jakarta,
1987, hal 36.
[11] Lapera, Op.Cit, hal. 110.
[12] Ibid, hal. 104.
[13] Suhartono
(ed), Politik Lokal Parlemen Desa Awal Kemerdekaan sampai Jaman
Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hal. 81.
[14] H.B.
Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, Sebelas Maret
University Press, Surakarta, 2002, hal. 59.
[15] Soerjono
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI
Press, Jakarta, 1986, hal. 250.
Sumber : Admin, 24 Desember 2011, Contoh Proposal Metode Penelitian
Hukum – Aspek Yuridis Pemilihan Anggota Badan Perwakilan Desa dan Implikasinya terhadap
Pemerintahan Desa di Kabupaten Klaten ;
https://idtesis.com/contoh-proposal-metode-penelitian-hukum/
,diakses pada 02 Maret 2016